Cikal bakal lahirnya Trinitas


Kita semua tahu bahwa "pada mulanya" Kristen adalah salahsatu dari agama Samawi, atau agama Abrahmic yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Ibrahim dan di belakang hari dikenal dengan sebutan Nasrani.

Sebagai agama Samawi, sesunguhnya Kristen - sebelum terpapar konsep ketuhanan Trinitas - juga merupakan agama Tauhid yang mengesakan Allah. Namun seiring dengan perjalanan sejarahnya yang berliku-liku, akhirnya konsep Tauhid yang menjadi pilar utama dalam Kristen, telah bergeser sangat jauh menjadi polytheisme terselubung di balik konsep Trinitas sebagaimana yang sekarang ini menjadi keyakinan mayoritas umat Kristen.

Lalu bagaimanakah sebenarnya konsep Trinitas ini lahir dalam Kristen?

Awalnya, Trinitas adalah sebuah aliran filsafat yang berakar dari Neoplatonisme yang digagas oleh Plotinus (204 - 270M) berdasarkan ajaran Plato. Ajaran ini selanjutnya dikembangkan oleh Athanasius (295 - 373M), yang kala itu menjabat sebagai Uskup Alexandria semasa Kaisar Konstantin berkuasa. Athanasius boleh dikatakan sebagai “Bapak Kredo Trinitas” yang diresmikan pada Konsili Nicea tahun 325M.

Sebetulnya Athanasius berniat baik, ia ingin agar Kristen juga diterima oleh Kekaisaran Romawi sebagai agama baru selain agama resmi yang diakui oleh Kekaisaran Romawi yang berkuasa pada masa itu, yaitu keyakinan Pagan berbasis Polytheisme yang menyembah Dewa-Dewa. Bahkan Kaisar Romawi sendiri menobatkan dirinya sebagai “anak dewa”.

Pada akhir hayatnya, Athanasius sendiri menyesali tindakannya itu dengan menyatakan:
“Tiap kali berusaha untuk memahami dan merenungkan konsep Ketuhanan Yesus, saya merasa berat dan sia-sia, hingga semakin banyak saya menulis untuk mengungkapkan konsep tersebut, semakin tidak mampu pula saya memahami jalan pikiran saya sendiri. Akhirnya saya kembali menyimpulkan, bahwa Tuhan itu bukanlah tiga oknum, melainkan hanya Satu. Kepercayaan Trinitas bukanlah suatu keyakinan, melainkan hanya sarana kepentingan politik dan penyesuaian keadaan pada masa itu.”
Upaya Athanasius ini tentu saja menuai pro dan kontra di kalangan Kristen sendiri, bahkan memicu perpecahan antara kelompok yang menerima dan yang menantangnya. Namun kemudian para penentang harus berhadapan dengan operasi penangkapan besar-besaran yang berujung pada dijatuhkannya hukuman mati oleh penguasa Romawi.

Sebelum Konsili Nicea 325M, ada ratusan Injil yang beredar. Di antara Injil-injil tersebut, ada yang menekankan pada konsep Tauhid, dan ada juga yang sudah dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang sangat dominan ada saat itu. Di antara Injil yang konsekuen dengan Keesaan Tuhan adalah Injil Barnabas.

Barnabas adalah salah seorang murid langsung dari Yesus. Sebelumnya, ia adalah murid dari Gamaliel, guru terbesar agama Yahudi Orthodoks saat itu. Pertemuan antara Yesus dan Barnabas adalah perpaduan dari semua hal yang terbaik dari ajaran kezuhudan masyarakat Esense, sebuah kelompok persaudaraan kaum Yahudi, di mana Yesus adalah salah satu dari anggotanya.

Injil lain yang berpijak pada ajaran Keesaan Tuhan adalah Injil Gembala Hermas; diperkirakan ditulis antara tahun 88 s.d 97M. 

Sampai akhir abad kedua Mesehi, Injil Hermas masih diakui sebagai bagian dari Perjanjian Baru oleh Clement dari Alexandria. Namun Konsili Nicea pada tahun 325M menetapkan hanya empat Injil yang diakui sebagai kitab suci umat Kristen, yaitu Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Sedangkan Injil Barnabas bersama ratusan Injil Tauhid lainnya disita paksa lalu dimusnahkan.

Kendati demikian, tidak berarti Injil-Injil Tauhid itu serta merta musnah dari muka bumi ini. Injil Barnabas contohnya, masih bisa kita temukan sekarang. Injil Hermas yang sebelumnya juga ikut dimusnahkan, ternyata pada tahun 1922 ditemukan manuskrip papyrusnya yang berisikan naskah asli dari abad ketiga Masehi. Kemudian pada tahun 1947, juga ditemukan manuskrip-manuskrip kuno yang terkenal sebagai naskah “The Dead Sea Scrolls” di Goa Qumran, Yordania.

Salahseorang menentang paling keras ajaran Trinitas dalam Konsili Nicea adalah Arius. Ketika itu Arius adalah Ketua Majelis Gereja. Namun karena tekanan kekuatan politik Kaisar Romawi, akhirnya ia tidak dapat berbuat banyak dalam Konsili tsb.

Kaisar Konstantin memang memiliki peranan besar dalam Konsili Nicea 325M. Awal keterlibatannya untuk mengakui agama Kristen adalah ketika ia meminta perlindungan pada pendeta-pendeta Kuil Jupiter di Roma setelah pembuhunan yang ia lakukan terhadap Putra Mahkota Crispus (adiknya sendiri) demi memperkokoh posisinya sebagai Kaisar Romawi. Namun pendeta di Kuil Jupiter tidak dapat membantunya, karena ia juga ternyata terbukti membunuh ibu tirinya. Akhirnya ia tidak betah berada di Roma, terutama karena merasa terancam oleh pengikut-pengikut setia Putra Mahkota Crispus dan Ibu Suri yang dibunuhnya. Itulah sebabnya mengapa Konstantin memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan Kekaisaran Romawi ke Byzantium, dan menamakan ibukota Kekaisarannya dengan namanya sendiri, Konstantinopel. Pada zaman Turki Utsmani, nama kota ini berganti menjadi Istanbul, hingga sekarang.

Di Byzantium inilah akhirnya Konstantin mengenal Kristen. Saat itu ia berhubungan dengan Gereja Paulus yang telah menerapkan konsep “penebusan dosa”.

Perlu diketahui bahwa pada masa itu ada dua gereja yang saling bertentangan, yaitu Gereja Apostolik dan Gereja Paulus. Gereja Apostolik adalah gereja yang mempertahankan keimanan kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa. Sedangkan Gereja Paulus meyakini bahwa Yesus adalah “anak” Allah.

Adanya konsep penebusan dosa ini dimanfaatkan oleh Konstantin untuk menenangkan dirinya. Selanjutnya ia mulai menjalin hubungan erat dengan Kristen meskipun secara resmi ia belum memeluk Kristen karena ia sendiri adalah “Pontifex Maximus” atau “Pendeta Tertinggi Pantheon Jupiter” sekaligus sebagai salahsatu “Dewa-Dewa Romawi”, bagian dari keyakinan Pagan yang menjadi agama resmi kekaisaran Romawi. Namun karena ia melihat bahwa masyarakat di wilayah Timur banyak yang menganut agama baru tersebut, dan ia juga mendapatkan peluang untuk memanfaatkan Gereja demi kepentingan pribadinya, kemudian ia mendorong Gereja agar mendirikan Keuskupan di Roma. Hal ini ia lakukan sebagai upaya untuk mematahkan kekuasaan para pendeta Kuil Roma yang telah menolak mendukungnya dalam kasus pembunuhan Crispus dan Ibu Suri.

Pada awalnya, Konstantin tidak menyadari adanya pertentangan keras antara Gereja Apostolik dan Gereja Paulus. Ia baru mengetahuinya ketika ia berniat untuk memindahkan pusat Gereja dari Yerusalem ke Roma, karena terjadi penentangan yang dilakukan oleh Gereja Apostolik. Konstantin ketika itu ingin menengahi perseteruan itu, dan akhirnya mengajak seluruh sekte gereja yang ada untuk melaksanakan konferensi di Nicea.

Ada empat keputusan penting yang dihasilkan dari Konsili Nicea, yang hingga kini masih dipatuhi oleh penganut Kristen bentukan Paulus, yaitu:

  1. Bahwa hari Matahari Roma menjadi hari Sabbat Kristen, itulah yang disebut Sunday, hari Minggu; 
  2. Mengambil dan menetapkan hari kelahiran tradisional dewa matahari dalam agama pagan, yaitu tanggal 25 Desember, sebagai hari kelahiran Yesus;
  3. Menggunakan lambang dewa matahari, yaitu “silang cahaya” yang berbentuk salib, sebagai lambang Kristen;
  4. Memutuskan untuk menggabungkan semua upacara yang dilakukan pada perayaan kelahiran dewa matahari dalam agama Pagan ke dalam upacara-upacara keagamaan Kristen.

Keputusan tersebut membuat Konstantin lega, karena jurang pemisah antara agama resmi Kekaisaran Romawi dengan agama Kristen semakin tipis.

Keempat poin tersebut memang mudah diterima oleh peserta Konsili Nicea, karena dianggap bukan masalah prinsipil. Namun ketika keputusan untuk menerima doktrin Trinitas, ini harus diselesaikan dulu melalui debat yang panas antara Athanasius serta pengikutnya yang menganut paham Trinitas pimpinan Uskup Alexandria, Mesir, dengan pengikut Arius yang berpaham Tauhid. Menurut pengikut Arius, semua ajaran Yesus berpusat pada Keesaan Tuhan, dan tidak ada sedikitpun yang menyiratkan paham Ketuhanan Trinitas.

Namun pengikut Arius akhirnya mendapat peringatan dari Putri Konstantina, adik dari Kaisar Konstantin. Menurut Konstantina, bila Konsili tidak juga mendapatkan kesepakatan keputusan, maka Kaisar akan menarik dukungannya terhadap Gereja, dan zaman kegelapan Kristen akan kembali menghantui umatnya. 

Sebenarnya, Konstantina juga pendukung Arius. Namun karena situasi politik saat itu sangat membutuhkan kestabilan demi kemapaman kekuasaan, memaksa Konstantina untuk memberikan peringatan kepada Arius agar mengalah untuk sementara. Oleh karena itulah, maka Arius beserta pengikutnya menerima keputusan Trinitas sebagai dogma Gereja yang dilanggengkan hingga dewasa ini.



[Dari Catatan Ahmad Sadzali]


Posting Komentar