Ingin Menggauli Wanita Berstatus Budak? Nikahi Dulu!

"Yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang (berbuat hal-hal) terbaik bagi kaum wanita "
~ MUHAMMAD, Rasululah Shallallahu 'alaihi wassalam. 

Allah Subhanahuwata'ala berfirman;

"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela." (QS. 23:5-6)

Laskar Kristus odong-odong selalu mencemooh umat islam yang dipandang barbar karena memperbolehkan seorang 'pemilik' menggauli budaknya, bahkan banyak Muslim sendiri yang memandang peristiwa pemerkosaan TKI di arab, misalnya, adalah masalah budaya sebagai akibat dari diperbolehkannya umat Islam memperkosa budak. Dalam hal ini, dan celakanya, pembantu rumah tangga mereka pandang sama derajatnya dengan budak itu sendiri! 

PANDANGAN YANG SALAH
Pandangan subyektif seperti ini sebenarnya lahir dari pemahaman yang rendah dan membabi buta karena kurangnya mempelajari esensi hubungan budak dengan 'pemilik' menurut ajaran Islam. Ditambah lagi dengan kurangnya pengetahuan mengenai kondisi sosial budaya masyarakat Arab modern dewasa ini yang sudah jauh berbeda dibandingkan dengan budaya mereka pada jaman Rasulullah dulu. 

Kembali ke masalah hubungan antara budak dan 'pemilik'  menurut dalam ajaran Islam. 

Ada sebuah catatan yang harus dipahami, bahwa di dalam ajaran Islam terdapat istilah “Milkul Yamin”, yang artinya "budak milik tangan kanan." 



ini adalah gelar untuk mereka yang hubungannya dengan 'pemilik'  terkait dengan urusan intim. Al-Quran selalu menggunakan istilah ini dalam konteks dimaksud.

" ... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki (aumaamalakat aimaanuhum) ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela." (QS. 23:5-6)

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki (aumaamalakat aimaanukum). Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (QS. 4:3 )

"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki (aumaamalakat aimaanuhum), maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela." (QS. 70:30)

Dari sini kita dapat membedakan status budak bergelar "Milkul Yamin" dengan budak dengan gelar lain yang sama sekali tidak terkait masalah intim dengan 'pemilik'nya. Sebagai contoh, istilah "amatun" digunakan untuk menggambarkan kedudukan budak mukmin dengan wanita musyrik.

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak (amatun) yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman." (QS. 2:221)
Al-Quran menjelaskan bahwa Milkul Yamin adalah budak yang dinikahi, atau dengan kata lain, budak yang secara Syar'i sah digauli karena telah melalui proses pernikahan.
" .... dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. 4: 24)

At Tabarani meriwayatkan bahwa ayat ini turun pada waktu Perang Hunain di mana kaum muslimin menang dan mendapatkan beberapa tawanan wanita. Ketika akan dicampuri mereka menolak dengan alasan bersuami, lalu kaum muslimin bertanya mengenai hal ini kepada Rasulullah saw, lalu turunlah ayat ini. [Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i]. 

Al-Quran dengan jelas menyatakan bahwa haram hukumnya menikahi wanita-wanita yang telah bersuami kecuali wanita yang telah menjadi tawanan perang. 

Mengapa demikian? 
Karena wanita yang menjadi tawanan perang terputus hubungannya dengan suaminya karena posisi suaminya adalah sebagai musuh yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Selain itu mereka termasuk golongan musyrik. Dari sini juga dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan “dicampuri” adalah menikahi mereka terlebih dahulu sebelum berbuat lebih jauh. Hal ini jelas dengan redaksi ayat di atas yang menegaskan:

" ..... dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu." (QS. 4:24)

Ayat lain yang mempertegas kewajiban seorang 'pemilik'  untuk lebih dulu menikahi budaknya sebelum terjadinya hubungan intim adalah:

"Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki." (QS. 4: 25)

PERNIKAHAN RASULULLAH DENGAN SYAFIYA
Hadits menganai pernikahan antara shafiya dan Rasulullah Saw adalah teladan bagi seluruh umat Islam,  sekaligus adalah bukti berlakunya kewajiban hukum bagi setiap muslim pada masa itu -- karena dewasa ini Islam sudah tidak lagi mengenal praktek perbudakan -- untuk menikahi budaknya terlebih dulu guna menghalalkan hubungan intim di antara keduanya. 

Diriwayatkan oleh Anas: “Rasulullah tinggal selama tiga malam antara khaibar dan madina dan telah menikahi shafiya. Aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri pesta pernikahan dan disana tidak ada daging dan roti didalam pesta tersebut, akan tetapi rasulullah memerintahkan Bilal untuk menggelar tatakan kulit yang diatasnya terdapat biji, mentega dan susu masam kental mengeringkan ditaruh. Kaum muslimin bertanya diantara diri mereka, “apakah Shafiyya akan menjadi salah satu ummul mukminin (istri Rasulullah) ataukah hanya menjadi budaknya saja”, beberapa dari mereka berkata, “Jika Rasulullah menutupinya dengan burdah (maksudnya menutupi wajah beliau seperti istri-istri nabi yang lain) dia akan menjadi ibu dari kaum muslimin, dan jika tidak maka dia akan menjadi budak beliau.” Ketika beliau meninggalkan tempat tersebut, Rasulullah menempatkan shafiyya dibelakang dirinya (dan menutupnya dengan burdah)." [HR Bukhari 59:524]

Dalam hadits di atas para sahabat masih bertanya-tanya tentang kedudukan Shafiya, padahal tampak jelas bagi kita bahwa Rasulullah telah mengadakan pesta pernikahan antara dirinya dengan Shafiya. 

Jawaban dari teka teki ini adalah; walaupun telah dinikahi, tidak ada kejelasan tentang status Shafiya, apakah sebagai istri atau "budak tangan kanan (Milkul Yamin)".

Hadits di atas sudah menjelaskan dengan sendirinya  sebuah ajaran penting dalam Islam bahwa untuk menghalalkan sebuah hubungan intim -- sekalipun dengan seorang budak -- Allah mengharuskan keduanya untuk menikah terlebih dahulu! 

Dari sini jelaslah bagi kita bahwa demi halalnya sebuah hubungan intim, maka menikah wajib hukumnya, sekalipun antara "pemilik" terhadap budaknya!

BAGAIMANA DENGAN MARIA AL QIBTIYAH?
Masih seputar hukum Islam terkait masalah budak, muncul pula sebuah pertanyaan "ngeyel" dari Laskar Kristus Odong-Odong yang andai saja mereka mau coba mengerti esensi dari paparan di atas, tentunya tidak perlu lagi ditanyakan, apalagi secara sangat konyol seperti ini;

"Bagaimana status Maria Al Qibtiyah yang masih sebagai budak ketika "digauli" oleh Muhammad? Kami membaca dari banyak sumber bahwa mereka tidak pernah menikah, dan ini mengindikasikan bahwa Muhammd telah berzina!"  

Jawabannya tentu saja, plis deh! 
Fahami saja dengan baik dan benar penjelasan di atas yang sudah demikian jelas "mengindikasikan" bahwa mustahil Rasulullah saw menggauli Maria Al Qibtiyah secara tidak sah!

Bagaimana mungkin seorang nabi Allah yang dalam hal ini sangat tegas mengajarkan hukum-hukum Allah terkait hubungan intim antara sepasang anak manusia -- sekalipun salahsatunya berstatus budak -- justru memberi contoh perilaku yang berlawanan dengan ajarannya sendiri?

Cobalah berfikir agak rasional, sedikit saja!

Tapi kalau masih belum puas juga dengan jawaban logis di atas, maka demi memuaskan hati kalian, silahkan download, simpan, dan sering-seringlah dibaca ulang catatan yang menjawab pertanyaan kalian tadi, di sini, atau boleh juga baca-baca di sini.
Semoga bermanfaat!

KONTROVERSI SEPUTAR TAWANAN PERANG WANITA
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri: “Kami mendapatkan tawanan wanita dan kami melakukan azl (mengeluarkan sperma dari kemaluan istri agar tidak terjadi kehamilan) terhadap mereka. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah saw tentang hal tersebut. Dan beliau berkata “Apakah kamu benar benar melakukan hal tersebut?” dan mengulang pertanyaan tersebut sebanyak tiga kali, “Tidak ada jiwa yang ditakdirkan untuk ada kecuali akan tetap ada, sampai pada hari kiamat” (HR Bukhari 062:137) 

Kebodohan dan kepicikan berpikir para Kafir Harbi ini terhadap ajaran Islam mendorong mereka untuk mempermasalahkan hadits di atas tanpa mencermati persoalan secara menyeluruh dalam konteksnya yang benar. 

Hadits diatas memang berbicara mengenai hubungan seksual antara kaum muslimin dengan tawanan perang wanita, namun kita harus menyadari bahwa ada dua hal yang penting untuk disoroti di sini, yaitu; (1) benarkah hubungan seksual tersebut tanpa dilandasi pernikahan, dan (2) apa alasan sesungguhnya yang menyebabkan Abu Sa’id Al Khudri melakukan azl?. 

Pertama, kita harus mengetahui bahwa Perang Bani Musthaliq di mana peristiwa tadi terjadi [Imam Muslim meriwayatkan kejadian tersebut terjadi ketika selesai perang Bani Musthaliq - lihat kitab HR Muslim, Kitab Pernikahan, Hadits Nomor 2599]. Kaum muslimin masih diperkenankan melakukan Pernikahan Mut’ah, yaitu pernikahan sementara yang dilakukan tidak lebih dari tiga hari.

Diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah dan Salama bin Al-Akwa’: “Ketika kami berada dalam peperangan, Rasulullah Saw datang kepada kami, “Kamu telah diperbolehkan untuk melakukan nikah mut’ah, jadi lakukanlah. “Salama berkata : Rasulullah saw berkata: ”Jika laki-laki dan wanita setuju melakukan nikah mut’ah pernikahan mereka berlangsung selama tiga malam, dan jika mereka suka untuk melanjutkan mereka dapat melakukannya, dan jika mereka mau berpisah mereka dapat melakukannya." [HR Bukhari 62:52]

Akan tetapi jenis pernikahan ini kemudian dilarang oleh Rasulullah semenjak Perang Khaibar.

Ali meriwayatkan; " ....... pada waktu Perang Khaibar, Rasulullah saw melarang nikah mut’ah!" [HR Bukhari 59:527]

Perang terhadap Bani Musthaliq memang terjadi sebelum Perang Khaibar, dan dari sinilah kita dapat menyimpulkan mengapa Abu Sa’id Al Khudri melakukan azl.

Kedua, tawanan perang wanita tersebut beliau nikahi secara sementara, sehingga dia tidak ingin pernikahan sementara tersebut berbuntut lahirnya seorang anak yang kelak akan mengakibatkan munculnya beban dan tanggungjawab baru terhadap dirinya, dan terhadap wanita tawanan perang itu sendiri!

Terakhir, patut untuk kita renungkan pesan Rasulullah saw berikut ini:

Diriwayatkan oleh ayah Abu Burda: “Rasulullah saw berkata “tiga orang yang akan mempunyai pahala berlipat ganda; Seorang 'pemilik' dari budak wanita yang mengajarkannya berbuat baik, mendidiknya ke jalan yang benar dan membebaskannya dan kemudian menikahinya." [HR Bukhari 3:97a]

Memang benar Islam mengajarkan boleh menikahi budak wanita dan membiarkan statusnya tetap sebagai "budak tangan kanan", namun Allah Azza wajalla lebih suka kepada mereka yang membebaskan wanita tersebut, menikahinya, dan menjadikan statusnya sebagai istri!


Wallahu A’lam Bi shawwab


[Sumber: Faiz Abdurahman | MUSLIM MENJAWAB | April 2007 | 3:14 AM]


Posting Komentar