Pengertian Eka Dan Esa Dalam Bahasa Indonesia



“Esa” dan “Eka” ada dan tampaknya tidak ada masalah dalam dua kata ini. Kedua kata ini digunakan dan dipahami secara luas oleh penutur bahasa Indonesia sebagai kata ganti untuk menyatakan ‘Satu, Tunggal’ (KBBI Edisi-V Versi Daring). Kendati demikian, sesungguhnya makna keduanya berbeda ketika dilihat dari aspek morfologi.

“Eka“ seperti yang kita ketahui adalah bentuk terikat alias tidak dapat berdiri sendiri sebagai satu kata yang mandiri. Kata ini biasanya ditulis serangkai dengan kata yang mengukutinya. Misalnya, ekabahasa (hanya memahami dan menggunakan satu bahasa; bersifat monolingual) dan ekakarsa (satu kehendak; satu niat).

Sedangkan di sisi lain, “Esa” bukan kata yang terikat. Dalam KBBI Edisi-V Versi Daring, "Esa" dikategorikan dalam kelas kata numeralia (bilangan). Sebagai numeralia, “Esa” pun dapat dibubuhi afiksasi. Misalnya, keesaan (sifat yang satu) dan mengesakan (menjadikan - menganggap - satu).

Lalu, benarkah “Esa” dan “Eka” sama-sama bermakna satu? 
Mari kita lihat etimologinya.

Bahasa Indonesia menyerap “Eka” dari bahasa Sansekerta. Dalam Sanskrit Loan Words in Indonesian (1997) karya JG de Casparis, "Eka" bermakna "Satu". Dalam sumber yang lain, kamus klasik Sanskrit-English Disctionary (M Monier-Williams, 1909), “Eka” bermakna Satu, Sendiri, Tersendiri, Single, dan terjadi sekali.

Sama seperti "Eka", “Esa” berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam Sanskrit Loan Words in Indonesian (1997) karya JG de Casparis, "Esa" bermakna 'Satu, Hanya Satu (one, only)'. 

Mengacu pada Sanskrit-English Disctionary (yang dikutip oleh de Casparis), “Esa” juga mengacu pada ‘Tuhan' (Lord). Sementara menurut sumber lain, Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Purwadarminta juga memaknai Esa sebagai ‘Tunggal, Satu’.

Meski sama-sama bermakna ‘Satu’, tapi “Eka” dan “Esa” digunakan dalam konteks yang berbeda. “Esa” digunakan untuk segala sesuatu yang merujuk kepada Tuhan. Misalnya seperti yang tertulis dalam sila pertama Pancasila: "Ketuhanan yang Maha Esa", atau dalam frasa "keesaan Tuhan". Sedangkan "Eka" digunakan untuk menunjuk kata bilangan seperti "Bhineka Tunggal Ika", atau "Ekabangasa" dlsb.

Sejauh ini, hampir tidak pernah ditemui penggunaan kata “Esa” yang bukan dalam konteks ketuhanan.

Ini berbeda dengan “Eka” yang cenderung lebih jamak dan longgar digunakan dalam pelbagai situasi dan konteks. Seperti, ekabahasa, ekawarna, ekafungsi, dan ekasuku. "Eka-" sebagai kata bilangan juga memiliki numeralia sejenis lain, seperti dwi-, tri-, catur-, panca- dan sebagainya.

Jika “Eka” terdapat bentuk jamak, maka “Esa” tidak punya bentuk jamak. Mungkin ini terkait dalam konteks “Tuhan”, dan tidak ada bentuk jamak untuk itu. "Esa" adalah satu, tunggal. Namun seperti kita ketahui, satu tidaklah sama dengan tunggal.

Satu adalah angka, bilangan; sementara tunggal adalah satu-satunya (numeralia), bukan jamak (ajektiva), dan utuh (ajektiva) [KBBI Edisi-V Versi Daring].

Sepertinya kata “Esa” lebih membutuhkan pendekatan konseptual, dibanding pendekatan numerik. Kita ambil contoh, ketika dinyatakan bahwa Tuhan itu satu, bagaimana kita menjelaskan definisi satu tersebut? Apakah satu itu dua minus satu, nol plus satu, empat minus tiga? Namun, akan lebih mudah bila kita menyebut Tuhan itu tunggal (Esa). 

Mengapa?
Karena konsep tunggal yang tidak hanya berupa angka (satu), tapi juga memiliki sifat dan konsep kesatuan yang utuh. Mungkin saja itu sebabnya bahasa Indonesia tidak mengenal istilah untuk sesuatu yang tidak tunggal.

Ini berbeda dengan “Eka” yang sama fungsinya pada kata dwi, tri, catur, panca, dst.  “Esa” tidak hanya dapat dipahami sebagai sebuah angka atau bilangan, tapi sebuah sifat yang satu, utuh, tidak ada duanya.


[Hotnida Novita Sary | Liputan 6]

Posting Komentar