Filsafat Islam
Filsafat Islam juga sering disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim merupakan suatu kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di dalam dunia Islam atau peradaban umat Muslim dan berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam Islam, terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan pengertian filsafat— falsafa (secara harfiah "filsafat") yang merujuk pada kajian filosofi, ilmu pengetahuan alam dan logika, dan Kalam (secara harfiah berarti "berbicara") yang merujuk pada kajian teologi keagamaan.
Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution, perkembangan kajian filsafat Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan,dan periode modern. Periode klasik dari filsafat Islam diperhitungkan sejak wafatnya Nabi Muhammad hingga pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650-1250 M. Periode selanjutnya disebut periode pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M. Periode terakhir yaitu periode modern atau kontemporer berlangsung sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.
Aktifitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang pascakematian Ibnu Rusyd pada abad ke-12 SM. Terdapat banyak pendapat yang menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya Tahafut al-Falasifa dipandang sebagai pelopor lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak kajian filsafat dalam Islam. Buku ini memuat kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai keislaman. Namun, pandangan ini kemudian menjadi perdebatan dikarenakan Al-Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir-pemikir Islam sebagai seorang filsuf. Bahkan, dalam pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali menuliskan bahwasannya, kaum fundamentalis adalah "kaum yang beriman lewat contekan, yang menerima kebohongan tanpa verifikasi". Ketertarikan dalam kajian filsafat islam dapat dikatakan mulai hidup kembali saat berlangsungnya pergerakan Al-Nahda pada akhir abad ke-19 di Timur Tengah yang kemudian berlanjut hingga kini. Beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Buya Hamka.
Sejarah
Secara historis, perkembangan filsafat dalam Islam dapat dikatakan dimulai oleh pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur (Persia) dan kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung (Alexander the Great) yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil menduduki wilayah Persia pada 331 SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan munculnya benih-benih kajian filsafat dalam masyarakat Muslim di kemudian hari. Penerjemahan literatur-literatur keilmuan dari Yunani dan budaya lainnya ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran di era Bani Abbasiyah (750-1250an M) dapat dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap kemunculan dan perkembangan kajian filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut kemudian menjadikan periode ini sebagai zaman keemasan dalam peradaban Islam. Ini sekaligus menunjukan keterbukaan umat Muslim terhadap berbagai pandangan yang berkembang saat itu, baik dari para penganut keyakinan monoteis lainnya, seperti kaum Yahudi yang mendapat posisi penting saat itu di negeri-negeri Islam (Ravertz, 2004: 20), hingga kaum Pagan, yang terlihat dari ketertarikan umat Muslim terhadap literatur bangsa Yunani Kuno yang mana sering diidentikan dengan ritual-ritual Paganisme.
Keterbukaan dan ketertarikan umat Islam terhadap literatur-literatur ilmu pengetahuan dari budaya lain diyakini telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, terutama terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang di kemudian hari berkembang lebih lanjut pada Abad Pencerahan di Eropa. Dunia pemikiran Islam kemudian semakin terfokus pada pendamaian antara filsafat dan agama ataupun akal dan wahyu, yang kemudian mempengaruhi semakin diusungnya integrasi antara akal dan wahyu sebagai landasan epistemologis yang berpengaruh pada karakter perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Kondisi tersebut memunculkan semakin banyaknya cabang-cabang keilmuan dalam dunia Islam, yang tidak hanya bersifat teosentris dengan merujuk pada dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai sumber kebenarannya oleh para Mutakalim (ahli kalam), tetapi juga bersifat antroposentris dengan rasio dan pengalaman empiris manusia sebagai landasannya tanpa menegasikan dalil dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Pada periode ini, dunia Islam menghasilkan banyak filsuf, teolog, sekaligus ilmuwan ternama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Kajian filsafat Islam di periode ini umumnya mengkaji lebih lanjut pandangan-pandangan perguruan filsafat peripatetik di Eropa seperti logika, metafisika, filsafat alam, dan etika, sehingga periode ini disebut juga sebagai periode peripatetik dari kajian filsafat Islam (Islamic/Arabic peripatetic school).
Pasca kematian Ibn Rusyd pada abad ke-12 SM, kajian-kajian peripatetik dalam filsafat Islam mulai meredup.
Astrologi
Astrologi mulai masuk dalam kajian para pemikir Islam ketika jatuhnya kota Alexandria kepada Bangsa Arab pada abad ke-7 Masehi, dan juga sejak berdirinya Kesultanan Abbasiyah pada abad ke-8 Masehi. Salah satu penerjemah awal diantaranya Mashallah ibn Athari, yang membantu memilih pendirian kota Baghdad, dan Sahl ibn Bishr, yang karya-karyanya kemudian memberi pengaruh langsung terhadap ahli astrologi Eropa seperti Guido Bonatti pada abad ke-13 Masehi, dan William Lilly pada abad ke-17 Masehi. Diantara nama-nama ahli astrologi dalam kebudayaan Arab, salah satu yang paling terkenal adalah Abu Maʿshar, dengan karyanya yang berjudul Kitāb al‐mudkhal al‐kabīr yang kemudian menjadi salah satu risalah astronomi terkenal di Eropa. Selain itu, nama Al-Khwarizmi tidak hanya dikenal sebagai ahli matematika, ia juga dikenal sebagai ahli astronomi, astrologi, dan geografi.
Selama perkembangan sains dalam peradaban Islam klasik, beberapa praktik-praktik astrologi mendapat banyak pertentangan dari kalangan ilmuwan dan cendikiawan Islam, seperti oleh Al-Farabi, Ibn Haytham, dan Ibnu Sina. Kritik-kritik mereka berpendapat bahwa metode yang digunakan oleh ahli astrologi hanya melalui konjektur dan tidak berdasarkan fakta-fakta empiris, serta dari kalangan cendikiawan Islam ortodoks yang mengkritik bahwasanya hanya Tuhan yang mengetahui dan dapat memprediksi masa depan secara pasti. Namun, kritik-kritik ini lebih cenderung diarahkan kepada cabang astrologi dengan metodenya yang berusaha untuk memprediksi nasib atau masa depan berdasarkan suatu horoskop. Cabang astrologi lainnya seperti astrolgi medis dan astrologi cuaca masih dipandang sebagai ilmu yang sah pada masa itu.
Sebagai contoh pandangan Ibnu Sina dalam bukunya Resāla fī ebṭāl aḥkām al-nojūm "Sanggahan terhadap astrologi", Ibnu Sina menentang praktik-praktik astrologi yang mengklaim dapat memprediksi nasib atau masa depan manusia berdasarkan posisi planet dan bintang-bintang. Namun, Ibnu Sina tetap mempercayai bahwa posisi bintang-bintang dan planet dapat memberikan pengaruh ke bumi termasuk kepada manusia, tetapi hal ini terjadi secara deterministik atau dapat dijelaskan dengan ilmu alam ketimbang ramalan-ramalan yang bersifat magis.
Teosofi transenden
Aliran Hikmah Muta'aliyah atau theosofi transendental dikenal dari pemikiran Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang cendikiawan Islam yang berasal dari Syiraz. Shadra dalam dunia keilmuan, membagi ilmu menjadi dua macam: ilmu yang diperoleh dari latihan dan belajar (husuli/axquired), dan ilmu yang diperoleh melalui pemberian langsung dari Tuhan (hudhuri/innate) (Shadra, 1981: 134). Ilmu husuli dalam hal ini adalah ilmu yang keberadaan datanya diperlihatkan dalam gambaran tentang objek pada diri subjek yang terjadi karena interaksi antara subjek dan objek yang sama-sama berdiri sendiri. Ilmu hudhuri, di sisi lain adalah ilmu yang sumbernya berasal dari Tuhan secara langsung, yang dalam hal ini objek muncul secara eksistensial dalam diri subjek, keduanya tidak terpisah dan validitasnya tidak terbatas dalam dualisme benar dan salah. Shadra memahami bahwa dalam proses mencapai pengetahuan, dapat dilalui dengan tiga cara, dimulai dari pengalaman rohani kemudian dicari dukungan rasio, lalu diselaraskan dengan syariat; kedua, diawali dari pemikiran rasional kemudian dihayati dengan pengalaman rohani, dan setelah itu dicari dukungan syariat; ketiga, bermula dari ajaran syariat kemudian dirasionalkan, dan seterusnya dipertajam dengan penghayatan rohani (Shadra, 1981: 324). Dapat dipahami bahwa pemikiran Mulla Shadra yang merupakan sintesis dari aliran pemikiran terdahulu menjadikan pengalaman intuitif, proses rasionalisasi, dan syariat Islam sama-sama berperan dalam mencapai kebenaran dalam ilmu. Hal tersebut juga diperjelas oleh paparan Seyyed Hossein Nasr bahwa dalam pemikiran Shadra terdapat tiga jalan menuju kebenaran, yaitu: wahyu (wahy atay syar'), intellection ('aql) dan keterbukaan secara mistik (kasyf), yang semuanya itu dapat dipahami dalam aliran Al-Hikmah Al-Muta'aliyah (Nasr,1996: 79). Sebagai sintesis dari berbagai arus pemikiran, Shadra dalam Al-Hikmah Al-Muta'aliyah menganggap bahwa terdapat pluralitas metode dan sarana mencapai kebenaran pengetahuan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Al-Hikmah Muta-'aliyah bukan saja merupakan suatu aliran yang menggabungkan atau merekonsiliasikan tiap-tiap aliran sebelumnya, tetapi juga telah menghasilkan suatu pembaharuan yang memperlihatkannya sebagai suatu aliran yang baru dan menjadi puncak dalam dunia pemikiran Islam
Kritik terkait kajian filsafat dalam Islam
Terdapat kalangan dalam umat Islam menentang gagasan dari kajian ilmu filsafat dan menganggapnya tidak Islami. Situs jejaring populer terkait paham Salafi, IslamQA.info (dibimbing dan dikelola oleh Syekh Muhammad Shaleh al-Munajjid dari Arab Saudi) menyatakan bahwasannya ilmu filsafat merupakan "entitas asing" dalam islam :
Fatwa ini juga mengklaim bahwa mayoritas ahli fiqhtelah menyatakan bahwa pembelajaran filsafat merupakan sesuatu yang haram dalam Islam. Beberapa dari ahli fiqh tersebut teredapat dalam daftar ini:
- Ibnu Nujaym (Imam Hanafi); dalam tulisannya pada Al-asybah wan-Nazaa muth'im.
- Al-Dardeer (Imam Maliki); perkataan beliau dalam Al-Syarh al-Kabir;
- Al-Dasuki; dalam tulisannya, Haashiyah (2/174);
- Zakariya al-Anshari (Imam Syafi'i) dalam Asna al-Mathalib (4/182);
- Al-Bahooti (Imam Hambali); mengatakan dalam Kashshaaf al-Qinaa' (3/34);
IslamQA mengutip pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa "empat cabang" dalam ilmu filsafat (geometri dan matematika, logika, teologi, dan ilmu pengetahuan alam) "melawan syariat, Islam dan kebenaran", dan terkecuali untuk ilmu medis, "tidak ditemukan kebutuhan untuk dilakukannya pembelajaran terhadap ilmu alam".
Maani' Hammad al-Juhani, (anggota dewan konsultasi dan direktur umum dari Perkumpulan Pemuda Muslim Dunia) dikutip dari pernyataannya, menyatakan bahwa, kajian ilmu filsafat tidak mengikuti pedoman moral dari Sunnah, "ilmu filsafat, seperti yang didefinisikan oleh para filsuf, adalah salah satu kepalsuan yang paling berbahaya dan kejam di dalam pertempuran iman dan agama terhadap dasar-dasar logika, yang mana hal ini kemudian sangat mudah digunakan untuk membingungkan orang-orang dengan memakai nama akal, interpretasi, dan metafora yang kemudian mendistorsi makna dari teks-teks keagamaan".
Ibnu Abi al-Izz, salah seorang penafsir Al-Tahhaawiyyah, mengutuk para filsuf sebagai orang-orang yang "paling menyangkal kebenaran dari Hari Akhir dan kejadian-kejadian di dalamnya. Dalam pandangan mereka Surga dan Neraka tidak lebih dari perumpamaan yang dibutuhkan agar konsep agama dapat dipahami oleh masyarakat, sehingga di luar itu, surga dan neraka bukan merupakan sesuatu yang nyata." [Wikipedia]
Posting Komentar