JIZYAH adalah bagian dari sumber keuangan umat yang pernah ikut ambil bagian dalam sejarah dunia Islam. Jizyah adalah pajak perorangan yang dibebankan kepada penduduk non-muslim (Ahl al-Dzimmah) dan diserahkan kepada lembaga keuangan negara (Baitul Maal) di dalam sebuah negara Islam (Dar al-Islam).
Pajak tersebut dimaksudkan sebagai konpensasi atas perlindungan penuh yang diberikan oleh negara terhadap keselamatan mereka sebagai warga negara khusus.
Jizyah merupakan salahsatu sumber pendapatan negara guna membiayai kepentingan operasional pemerintah, khususnya yang dimaksudkan untuk kemaslahatan segenap warganya, tanpa membedakan Muslim atau non-Muslim. Sedangkan ketentuan tentang pembayaran jizyah diatur secara terperinci di dalam Hukum Fiqh.
Ketentuan membayar Jizyah
Di antara ketentuannya adalah; kewajiban membayar jizyah mulai diberlakukan setelah Ahli Dzimmah tinggal di negara itu sekurang-kurangnya selama satu tahun. Perhitungannya dimulai pada bulan Muharram sampai Dzulhijjah dan hanya dibayarkan satu kali dalam setahun. Sedangkan besaran jizyah bervariasi sesuai dengan kebijakan masing-masing penyelenggara negara. Namun biasanya diperhitungkan berdasarkan tingkat kemampuan ekonomi masing-masing Ahli Dzimmah.
Pembayaran jizyah dibagi menjadi empat tingkatan. Apabila pemerintah sudah menetapkan besaran jumlah jizyah yang harus dibayar, maka untuk tingkat pertama, yakni golongan orang kaya, jizyah yang dibayarkan adalah 100% dari besaran yang sudah ditetapkan. Ini merupakan pembayaran jizyah pada tingkatan tertinggi. Tingkatan kedua, yakni golongan menengah diberlakukan kepada para pedagang dan petani. Jumlah jizyah yang dibayarkan adalah 50% dari besaran yang sudah ditetapkan. Tingkatan ketiga, yakni golongan para pekerja. Pembayaran jizyah bagi mereka hanya 25% dari besaran yang sudah ditetapkan. Jizyah tidak diwajibkan kepada golongan keempat, yakni penduduk yang dikecualikan, dan karenanya dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah.
Sejarah Islam mencatat bahwa jumlah jizyah yang pernah diberlakukan adalah sebesar 48 dirham atau setara dengan Rp. 212.000. Dengan demikian, merujuk pada skema di atas maka rincian kewajiban membayar jizyah Ahli Dzimmah golongan pertama adalah Rp. 212.000, golongan kedua Rp. 106.000, golongan ketiga Rp. 53.000, dan golongan keempat Rp. 0.
Sejak dimulainya pembayaran Jizyah, Ahli Dzimmah diwajibkan untuk komit mebayar kewajibannya tsb secara reguler pada tiap-tiap (awal atau akhir) tahun, tidak akan memfitnah Islam, tidak melakukan aktifitas yang dapat merugikan umat Islam, dan tunduk pada semua aturan dan hukum Islam yang berlaku di negerinya.
Manfaat membayar Jizyah,
Dengan membayar jizyah, Ahli Dzimmah berhak untuk memperoleh perlindungan keamanan jiwa dan harta bendanya, serta memperoleh hak-hak publik sebagaimana warga negara Muslim lainnya di negeri itu. Mereka tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam, dan hak-hak dasarnya tidak boleh dilanggar.
Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW dengan tegas mengingatkan bahwa umat Islam dilarang keras mencederai hak-hak dasar Ahli Dzimmah, dan apabila larangan itu dilanggar, maka para pelakunya akan menjadi seteru beliau pada pengadilan Allah di akhirat kelak!
Misinterpretasi Jizyah
Umumnya para Orientalis, Misionaris, Evangelis, dan orang-orang di luar Islam menginterprtetasikan Jizyah sebagai sebuah bentuk pemaksaan, bahkan dianggap sebagai pajak agama, sekaligus tindakan diskriminatif penguasa terhadap penduduk non-Muslim, khususnya di negara-negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam. Setidaknya demikian pandangan mereka ketika Jizyah diberlakukan pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW yang dilanjutkan pada 4 periode pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Pendapat ini sangat keliru. Sebab pada kenyataannya kewajiban para Ahli Dzimmah untuk membayar jizyah justru jauh lebih ringan dibandingkan dengan kewajiban warga negara Muslim sendiri yang harus membayar berbagai jenis zakat melalui Baitul Maal. Artinya, tidak ada tindakan diskriminatif di sini, sebab baik Ahli Dzimmah maupun kaum Muslimin sebenarnya sama-sama membayar kewajibannya masing-masing ke kas negara. Lagi pula tidak semua warga Ahli Dzimmah harus membayar jizyah.
Ada sejumlah pengecualian bagi orang-orang yang karenanya dibebaskan dari kewajiban pembayaran jizyah. Mereka adalah golongan keempat, yakni kaum perempuan, anak laki-laki yang belum baligh, para Lansia, para penyandang disabilitas (zamin), Faqir Miskin, penganggur, budak, dan para Pendeta.
Jika pemerintah negara Islam dianggap membedakan perlakuan terhadap golongan Muslim dan non-Muslim melalui praktek jizyah, dasarya karena sepintas terkesan seolah-olah ada diskriminasi. Akan tetapi perlu digarisbawahi di sini bahwa penggunakan terms "diskriminasi" tsb tidak tepat, sebab perbedaan yang ada sama sekali tidak menguntungkan umat Islam, melainkan sebaliknya, justru menguntungkan golongan Ahli Dzimmah.
Selain wajib membayar berbagai jenis zakat (jenisnya bermacam-macam dan jumlah kewajibannya pun bervariasi), umat Islam diwajibkan mengikuti dinas militer, wajib ikut berperang mempertahankan kedaulatan negara - baik di negeri sendiri maupun di negeri-negeri lain yang telah menjalin perjanjian kerjasama - sedangkan Ahli Dzimmah dibebaskan dari semua itu. Kendati demikian, dalam hal ada di antara orang-orang dari kelompok Ahli Dzimmah yang secara sukarela menyatakan keinginannya untuk mengikuti dinas militer dan sewaktu-waktu siap maju ke medan perang, maka mereka dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah.
Hal lain yang juga penting digarisbawahi di sini adalah; jizyah harus dikembalikan jika pasukan muslim tidak lagi dapat memberikan perlindungan kepada penduduk suatu negeri yang bukan muslim. Pengembalian jizyah pernah dilakukan oleh para pemimpin pasukan umat muslim antara lain Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Khalid bin Walid memrintahkan Baitul Maal untuk mengembalikan seluruh jizyah yang pernah diterima oleh negara kepada penduduk Homs, sedangkan Abu Ubaidah bin al-Jarrah memerintahkan hal yang sama untuk penduduk Damaskus. Sementara pada peperangan yang terjadi di wilayah Syam, tercatat para pemimpin pasukan muslim mengembalikan jizyah kepada para penduduknya karena harus meninggalkan wilayah tersebut.
Dewasa ini, Jizyah di sejumlah negara Islam sudah mengalami perkembangan. Jizyah lebih condong seperti pajak atas sejumlah jenis produksi.
Jizyah tidak identik dengan zakat.
Jizyah digunakan untuk membiayai penyelenggaraan negara secara umum, sedangkan zakat, baik persyaratan maupun peruntukannya berada di luar itu, sebagaimana diatur secara terpisah menurut ketentuan yang digariskan di dalam Al-Qur’an.
Posting Komentar