Al-Quran, Tentang Pembuktian Eksistensi Allah

Seringkali kita menemukan kristen yang begitu naif menganggap bahwa tuhan itu HARUS dapat dilihat seperti contohnya, Yesus. Sosok anak manusia ini mereka jadikan tuhan karena mereka tidak mau menerima ajaran dari kitabnya sendiri bahwa selama manusia masih hidup di dunia, Allah, tuhan semesta alam ini, sama sekali tidak mungkin dapat dilihat.

Terlepas dari macam-macam alasan yang mereka karang sendiri untuk mendukung ketuhanan bersifat "material" tadi, siapa pun kemudian dengan mudah dapat melihat betapa serba sangat terbatasnya tuhan kristen yang satu ini. Tidak perduli berapa banyak pun bumbu-bumbu penyedap yang mereka nisbatkan pada sosok Yesus, nyatanya sama sekali tidak dapat merobah fakta bahwa yang mereka tuhankan ini pada kenyataannya hanyalah makhluk ciptaan Allah belaka, seorang anak manusia yang dalam banyak hal sebetulnya sama saja dengan anak tetangga kita! 

Cerita tentang tuhan yang harus dapat dilihat dengan mata ini mengingatkan kita lagi pada puncak kisah kejahilan (kebodohan) umat Nabi Musa yang setelah diajari hingga akhirnya mengerti kemudian mau menyembah Allah Yang Maha Esa yang tidak terlihat ini. Tetapi ketika ditinggal oleh beliau untuk bermunajat selama empatpuluh hari di bukit Tursina, baru pada hari ke tigapuluh ternyata mereka sudah kembali lagi menyembah patung anak sapi emas yang mereka buat sendiri!

Inilah salahsatu sebab kenapa Allah memilih bangsa Yahudi Israel (yang terdiri dari 12 suku-bangsa) untuk dijadikan contoh pelajaran bagi bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. 

Tentang ini, kita juga sering dibikin tersenyum sendiri mendapati rata-rata pengikut kristen menganggap Israel menjadi bangsa pilihan karena "kehebatan" mereka dilihat dari berbagai perspektif. Bukan karena sebaliknya yang dengan jelas digambarakan oleh Al-Qur'an seperti misalnya diterangkan di sini.

Kembali ke urusan tuhan yang harus dapat dilihat tadi, rasanya tidak sedikit dari kita pernah membaca atau bahkan coba merespons klaim kristen terhadap Islam yang kira-kira mereka tulis begini:

Yesus TERBUKTI EKSIS, sementara Allah sembahan Islam TIDAK TERBUKTI EKSIS.  
Buktikan bahwa Allah SWT itu EKSIS!

Menjawab ini, tentu saja ada beberapa pilihan penjelasan menurut pandangan Islam. Salahsatu di antaranya adalah seperti yang berikut ini. 

Alkitab dan Al-Qur'an sama-sama menyatakan BUKTI bahwa Allah SWT itu lebih dari sekedar EKSIS. Pada prinsipnya semua Firman Allah bersifat Kekal, entah itu tertulis di dalam Taurat, Mazmur, Injil atau Al Qur'an (kecuali ‘Firman’ yang sudah diedit atau bahkan dikarang sendiri oleh para editornya lalu dikatakan itu berasal dar Allah).

Perhatikan Firman Allah dalam alkitab ini: 

[Wahyu 22:13] “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir."

Tampak jelas pararel dengan Firman-Nya dalam Al Qur’an:

[QS.57:3] “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ù‡ُÙˆَ اْلأَÙˆَّÙ„ُ Ùˆَالآخِرُ Ùˆَالظَّاهِرُ ÙˆَالْبَاطِÙ†ُ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ بِÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ عَÙ„ِÙŠْÙ…ٌ
[“Huwwal awwalu wal akhiru wadzohiru wal battinu wa huwa bi kulli syai in ‘aliiim.“]

Maha Awal, Maha Akhir, Maha Zhahir, Maha Bathin. Keempat nama Allah tersebut di dalam Al-Quran memiliki keunikan tersendiri. 

Pertama, keempat sifat itu hanya terdapat dalam sebuah surat dalam Al-Quran yakni surat 57 ayat 3. Maka jika kita mencari salah satu saja dari keempat sifat di atas dalam surat lain pada Al-Quran, maka kita tidak akan menemukannya. 

Keunikan kedua, keempat nama tersebut terletak dalam satu rangkaian pada satu surat dan ayat yang sama. 

Keunikan ketiga, ayat tersebut memiliki penjelasan unik sebagai berikut :

Secara bahasa arti dari zhahir adalah muncul, tampak atau jelas, dan istilah bathin berarti tersembunyi. Sedangkan awwal bermakna pertama dan akhir bermakna yang kemudian atau yang terakhir. Karena keempatnya tersemat pada nama Tuhan, maka al-Awwal berarti yang Maha Pertama, al-Akhir berarti yang Maha Akhir, dan dua sifat terakhir bermakna Maha Tampak dan Maha Tersembunyi.

Sekilas kita sedikit dibingungkan oleh pasangan sifat yang seakan kontradiktif ini. Bagaimana mungkin sesuatu memiliki sifat tampak dan tersembunyi sekaligus? Dan bagaimana menjelaskan sifat yang paling awal dan yang paling akhir berada dalam zat yang sama?

Perhatikan bagaimana pendapat para Ulama tentang ayat ini.

Imam Al-Ghazali 
Dalam menjelaskan dua pasang nama Allah yang tampak kontradiktif tersebut, Imam Al-Ghazali melalui karyanya yang berjudul Al-Asma’ Al –Husna Rahasia Nama-Nama Indah Allah, dengan hati-hati menyatakan, bahwa kedua sifat pertama yakni azh-Zhahir dan al-Bathin harus difahami secara relatif, Al-Ghazali berpendapat bahwa makna zhahir dan bathin tidak mungkin muncul dalam segi yang sama, namun harus difahami dalam segi yang berbeda. Ia (Allah) disebut bathin jika dilihat dengan alat-alat panca indera, namun zhahir jika disimpulkan dengan akal budi.

Untuk menjelaskan hal ini Al-Ghazali menggunakan sebuah perumpanaan berikut:

“Jika anda perhatikan sepatah kata yang ditulis oleh seorang penulis yang luas pengetahuannya, kompeten, mampu mendengar dan melihat dan kemudian anda terpesona oleh tulisan itu, maka anda berkeyakinan bahwa penulisnya mestilah ada dan tidak mungkin tulisan tersebut terjadi dengan sendirinya”, begitulah Allah, menurut Al-Ghazali. Ia tidak kita lihat melalui indera kita namun melalui karyanya kita dapat menyimpulkan keberadaan-Nya.

Demikian pula ketika Al-Ghazali menguraikan makna al-Awwal dan al-Akhir. 

Beliau menuliskan bahwa pada dasarnya kedua sifat tersebut harus difahami dalam segi yang berbeda, dan mustahil terjadi kedua sifat tersebut pada segi yang sama: Allah adalah awal, Yang Pertama, dalam kaitannya dengan keberadaan-Nya terhadap alam semesta ini dan seluruh makhluk-Nya, dan Dia adalah al-Akhir, Yang Terakhir, dalam kaitannya dengan perjalanan waktu.

Lalu, bagaimana pula pendapat Ilmuwan mengenai Teori Al Awwal dan Al Akhir dalam ayat ini?

Albert Einstein 
Pada tahun 1905 Albert Einstein menguncang dunia sains melalui Teori Relativitasnya, ia menjelaskan pengaruh dari teori tersebut pada tiga besaran fisika, yaitu:
  1. Relativisme waktu, berkaitan dengan umur benda,
  2. Relativisme massa, berkaitan dengan eksistensi benda, sebab sesuatu disebut ada jika ia memiliki massa atau memiliki energi.
  3. Kemudian relativisme jarak, berkaitan dengan visual atau penglihatan.
Inti dari Relativitas Khusus adalah bahwa boleh jadi dua orang (atau lebih) yang mengukur waktu (dalam arti umur), massa dan jarak sebuah benda yang sama akan mendapatkan hasil yang tampak amat berbeda satu sama lain.

Hal tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan jenis atau kemampuan presisi dan akurasi alat ukurnya, namun karena memang seperti itulah adanya, tampak berbeda, bergantung keadaan si pengukur.

Einstein kemudian menambahkan dalam postulatnya, bahwa tidak ada Zat / benda di alam semesta ini yang kelajuannya melebihi kelajuan CAHAYA= 3 x 108 m/s, sebab jika ini terjadi, MAKA sebagai dampak dari rumusan relativitas-khususnya, ZAT tersebut akan:
  • Pertama, tidak memiliki dimensi waktu, sebab waktu tidak lagi memiliki definisi matematis atau tak-hingga, tidak memiliki awal dan tak memiliki akhir.
  • Kedua, ‘zat’ tersebut akan memiliki massa yang teramat besar, sehingga tak bisa diwakili oleh angka sebesar apapun.
  • Dan ketiga, Benda tersebut tak akan terlihat, sebab besaran seperti panjang, luas dan volume bernilai 0. Hal ini berarti tidak semua yang tak terlihat itu tidak ada.
Sehingga, seandainya ada ‘zat’ atau benda yang kecepatan bergeraknya melebihi kecepatan cahaya, maka bisa dikatakan benda tersebut tak berawal dan tak berakhir, berwujud (EKSIS) namun tak terlihat.

Entah ini sebuah Penemuan Besar atau Sang Maestro Einstein sudah membaca sebuah ayat al-Quran berikut ini (?):

“Allah cahaya langit dan bumi. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. an-Nuur 35)

Allah selalu mensifati kekuasaannya pada cahaya, bahkan cahaya di atas cahaya. Setelah sekian abad kemudian, kita baru menyadari bahwa jika sesuatu berada “di atas” cahaya, maka seperti inilah sifatnya: Maha Awwal, Maha Akhir, Maha Tampak dan Maha Tersembunyi. Maka Ia adalah Allah, ‘Sang Cahaya’ di atas cahaya.

Imam Al-Ghazali memang benar bahwa Allah Maha Awal dalam satu segi dan Maha Akhir dalam segi lain, namun lebih tepat jika kita katakan Allah tidak dibatasi oleh dimensi waktu, Ia tidak berawal dan tidak berakhir menurut definisi makhluknya.

Al-Ghazali juga benar bahwa Allah memiliki sifat tampak melalui penyimpulan akal dan hati, sedangakan Allah bersifat tak tampak melalui panca indera dan rasionalitas. Namun lebih dari itu, Allah memang “eksis”, bahkan "Maha Eksis" baik secara rasio maupun secara akal-budi, sekaligus Ia juga tidak-tampak, baik melalui pemikiran rasional maupun lewat penyimpulan akal-budi.

Dan bila ada diantara manusia yg menolak Ke-eksis-an Allah karena tak dapat di pandang mata, maka belajarlah pada Einstein sang Maestro Relativitas!

Periksa Teori Relativitas di sini.

[Sumber: Islam Menjawab Fitnah]


Posting Komentar