Kata ‘sumpah’ berasal dari kata Arab ‘qasam’ yang akar katanya disusun oleh huruf ‘qaf-sin-mim’, kata ini menurunkan beberapa pengertian: to divide, dispose, separate, apportion, distribute, dst. [Lihat lebih detil di sini].
Kata ‘qasam’ diartikan ‘bersumpah’ misalnya terdapat pada ayat :
falaa uqsimu bimawaaqi’i alnnujuumi
[56:75] Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quraan.
falaa uqsimu bialsysyafaqi
[84:16] Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja,
laa uqsimu bihaadzaa albaladi
[90:1] Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah),
Namun kata ‘qasam’ dengan derivasinya juga diartikan membagi, memisahkan, misalnya terdapat pada ayat:
wa-idzaa hadhara alqismata uluu alqurbaa waalyataamaa waalmasaakiinu faurzuquuhum minhu waquuluu lahum qawlan ma’ruufaan.
[4:8] Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Faalmuqassimaati amraan
[51:4] dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan
tilka idzan qismatun dhiizaa
[53:22] Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
Muncul pertanyaan:
”Lalu apa hubungannya bersumpah dengan membagi atau memisahkan?” Apa sebenarnya arti bersumpah ketika ada kalimat ‘Tuhan bersumpah demi makhluk’? bagaimana sebenarnya posisi makhluk tersebut dalam sumpah tersebut? Apakah benar posisinya sebagai pihak yang berkuasa untuk menghakimi pihak yang bersumpah? bagaimana halnya ketika Allah bersumpah demi diri-Nya sendiri?
Kata ‘qasam’ sendiri dalam bahasa Arab setara dengan istilah lain:
Dalam bahasa Arab sumpah disebut dengan al-aimanu, al-halfu, al-qasamu. Al-aimanu jama’ dari kata al-yamiinu (tangan kanan) karena orang Arab di zaman Jahiliyah apabila bersumpah satu sama lain saling berpegangan tangan kanan. Kata al-yamiinu secara etimologis dikaitakan dengan tangan kanan yang bisa berarti al-quwwah (kekuatan), dan al-qasam (sumpah). Dengan demikian pengertian al-yuamiinu merupakan perpaduan dari tiga makna tersebut yang selanjutnya digunakan untuk bersumpah. Dikaitkan dengan kekuatan (al-quwwah), karena orang yang ingin mengatakan atau menyatakan sesuatu dikukuhkan dengan sumpah sehingga pernyataannya lebih kuat sebagaimana tangan kanan lebih kuat dari tangan kiri, sehingga selain arti kata: membagi atau memisahkan, ‘bersumpah’ juga mengandung unsur: menguatkan, mengukuhkan.
Yang perlu diperjelas disini adalah, ketika Allah bersumpah dengan nama makhluk-Nya, maka tidak ada suatu kesan yang muncul dari umat Islam, bahwa Allah telah ‘menyerahkan kekuasaan untuk menghakimi’ sumpah-Nya tersebut kepada benda tersebut. Baik didasari sumpah ataupun tidak, ataupun sumpah tersebut dilontarkan oleh siapapun, maka yang kemudian berkuasa untuk menghakimi hanyalah Allah.
Jika demikian, bagaimanakah sebenarnya ‘status’ makhluk/benda yang terdapat dalam sumpah itu?
Maka posisi makhluk/benda tersebut adalah sebagai SAKSI atas sumpah tersebut, saksi yang dikesankan independen, berdiri sendiri dan terpisah dari pihak yang bersumpah, berfungsi untuk menguatkan dan mengukuhkan bahwa apa yang disampaikan dalam sumpah tersebut benar adanya. Ini terkait dengan tujuan suatu sumpah dilontarkan, yaitu untuk meyakinkan pihak lain atas kebenaran apa yang disumpahkan, dimana pihak lain tersebut ragu-ragu atau tidak percaya. Kesan terpisah ini sejalan dengan tujuan disampaikannya sumpah, sehingga seolah-olah Allah mengatakan ; ”Sekalipun Aku adalah Tuhan Yang Maha Berkuasa, namun makhluk/benda yang Aku jadikan objek sumpah-Ku, dipersilahkan memutuskan sendiri kesaksiannya. Apabila Aku telah berbohong atau sumpah-Ku tidak benar, maka Aku sendiri yang akan menghakimi diri-Ku.”
Pengertian ‘qasam’ ini juga berlaku dalam hal Tuhan bersumpah atas diri-Nya sendiri. Pemisahan diibaratkan ‘posisi’ Tuhan sebagai pihak yang bersumpah dan sebagai pihak yang bersaksi merupakan dua hal yang seolah-olah terpisah, sehingga kesaksian Tuhan adalah adli, kuat dan benar. Ini memenuhi tujuan untuk apa sumpah tersebut dilontarkan, yaitu untuk meyakinkan pihak lain yang tidak percaya dan ragu-ragu. Disinilah kesetaraan antara istilah ‘qasam’ dan ‘aimanu’, yaitu kemandirian sebagai saksi menunjang pengukuhan dan penguatan sumpah yang disampaikan.
Berdasarkan penjelasan ini, pertanyaan dari pihak Kristen sudah bisa dijelaskan, apa yang mereka gugat tentang sumpah Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an karena mereka memakai ukuran sendiri tentang apa yang dimaksud dengan sumpah dan subjek sumpah, mengartikan bahwa makhluk/benda yang terdapat dalam sumpah adalah sebagai pihak yang berkuasa untuk menghakimi, dan bukan sebagai saksi yang akan memberikan kesaksian terhadap kebenaran sumpah tersebut. Dalam istilah Islam, terlihat bahwa posisinya bukanlah demikian, karena yang berkuasa untuk menghakimi tetap saja Allah SWT, sedangkan makhluk/benda berfungsi sebagai saksi.
Sekarang muncul pertanyaan lagi: lalu apakah seorang Muslim boleh bersumpah juga demi/dengan nama makhluk selain Allah? Terus-terang saya sama sekali tidak menemukan adanya larangan dalam Al-Qur’an tentang ini. Larangan bersumpah demi/dengan/atas mana selain Allah terdapat dalam hadist:
Umar bin Khaththab mendengar seorang laki-laki mengatakan, ”Demi Ka’bah” maka ia mengatakan, “Janganlah bersumpah dengan selain Allah, sesungguhnya aku mendengar rasulullah saw bersabda, ‘barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah kufur atau syirik’” (HR Abu dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad)
Dari Umar bin Khaththab, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nenek moyang kalian” (HR Muslim)
Dan hadits Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berkata dalam sumpahnya, Demi Latta dan Uzza hendaklah ia menebusnya dengan mengucapkan, ‘Laa Ilaaha Illallaah’.”
Namun ternyata dalam riwayat yang lain, diungkapkan juga bahwa Rasulullah pernah bersumpah demi makhluk selain Allah:
Sabda Nabi kepada seorang Arab Badui, “Demi ayahnya, beruntunglah ia jika benar katanya. Demi ayahnya, niscaya ia masuk Jannah jika benar katanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan jawaban beliau kepada orang yang bertanya tentang shadaqah, “Demi ayahmu, engkau akan diberitahu tentang hal itu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari sini sebenarnya bisa kita simpulkan bahwa yang dimaksud larangan bersumpah demi nama selain Allah adalah dalam konteks menjadikan sesuatu selain Allah tersebut sebagai pihak yang berkuasa untuk menghakimi sumpah kita, makanya dalam hadist tersebut dikatakan sebagai syirik, apalagi disampaikan contoh bahwa nama lain selain Allah tersebut adalah Latta dan Uzza, berhala yang sebelumnya disembah oleh kaum musyrik Makkah.
Namun tentu kita harus menyikapinya dengan cara ‘mengambil jalan yang paling aman’, daripada menjadikan makhluk/benda sebagai saksi sumpah kita, akan lebih baik kalau Allah-lah yang kita jadikan saksi, sekaligus pihak yang berkuasa menghakimi sumpah kita.
Selain itu jalan yang paling aman, juga terkesan kita sungguh-sungguh melakukan sumpah agar pihak lain yang tidak percaya menjadi yakin dengannya, siapa lagi pihak yang kesaksiannya kuat dan bisa dipercaya melebihi Allah? Bukankah memang itu tujuan seseorang melakukan sumpah?
[Sumber: Islam Menjawab Fitnah]
Posting Komentar