Nikmatnya Sesat


Oleh Abdullah Wong, ditulis pada Ahad, 6 Pebruari 2011, pukul 10.15. ketika ditulis, penulis tidak tahu pada saat yang sama tengah berlangsung peristiwa di Banten. Sebelumnya penulis berharap tulisan ini dapat dimuat di sebuah media cetak. Tapi karena tulisan ini sangat buruk, jadi saya bagi untuk Anda di internet. Selamat Menikmati.

Sebelumnya saya mohon maaf. Coba sekali ini saja, tanyakan sejenak dalam hati Anda, mengapa Anda tertarik untuk membaca “Aliran Sesat”? Apakah Anda termasuk orang yang sedang mencari bahan atau informasi tentang ciri-ciri atau identitas kesesatan seseorang atau suatu kelompok? Sehingga ketika Anda bertemu orang lain atau kelompok tertentu, Anda dapat langsung menilai bahwa orang tersebut sesat, berdasarkan informasi atau ciri-ciri yang Anda terima. Ataukah Anda sendiri sedang gelisah dan khawatir, kalau-kalau Anda berada dalam kesesatan? Sehingga Anda merasa perlu untuk mencari tahu, jangan-jangan apa yang selama ini Anda pahami adalah kesesatan yang nyata. Atau mungkin Anda sedang iseng, karena siapa tahu ada informasi tertentu tentang kesesatan yang selama ini belum Anda dapatkan? Atau mungkin, Anda adalah orang yang sangat serius mencari dan menggali informasi tentang kesesatan? Sehingga Anda tidak akan mudah menyetempel orang lain dengan label sesat? Tapi, kalau pun Anda bukan termasuk dari semua yang saya asumsikan, maka jelas kiranya, bahwa asumsi saya ini sudah mengandung kesesatan.

Kalau selama ini Anda punya kebiasaan atau mungkin hobby menyesatkan orang lain, pernahkah Anda berpikir sebagai pribadi yang berada dalam kesesatan? Atau karena saking benarnya Anda, sehingga Anda tidak sempat untuk menyadari bahwa Anda sendiri sesungguhnya sesat. Mungkin aneh, apalagi ungkapan-ungkapan saya ini terkesan hanya memutar balik kata-kata. Padahal, apa yang ingin saya ajukan, adalah kemungkinan-kemungkinan atau ciri-ciri, kenapa saya seringkali disebut sebagai sesat.

Baiklah, anggap saja saya yang sesat dan Anda yang benar. Kalau keadaannya demikian rasanya lebih mudah dan nyaman. Setidaknya untuk Anda yang selalu suka dalam zona nyaman (comfort zone) sambil bermain di time zone. Karena Anda sebagai yang benar, akan lebih mudah melihat jalan pikiran orang yang sesat seperti saya. Dan Anda tidak perlu pusing, apalagi mau percaya dengan saya, toh saya ini adalah sesat! Lanjutkan saja kebenaranmu yang agung itu, teruskan saja mengakui diri Anda sendiri sebagai yang paling benar, dan biarkan saya saja yang tetap sesat. Oke? Hidup sesat!

Maka, inilah ciri-ciri kesesatan saya. Boleh jadi, ini adalah Aliran Sesat tapi belum memiliki badan hukum, karena kebetulan belum sempat diajukan ke notaris. Saya adalah seorang lelaki yang kebetulan terlempar lahir di jagat ini tanpa saya rencanakan sendiri sebelumnya. Karena saya tidak pernah merencanakan, maka otomatis saya tidak pernah tahu apa itu kehidupan, siapa sejatinya saya, juga kemana akhir dari kehidupan. Secara kebetulan, saya beragama Islam, karena memang orangtua dan keluarga saya beragama Islam. Setelah melewati sekian perjalanan dan pendidikan, saya justru semakin ragu dengan keyakinan yang saya ikuti secara turun temurun. Orang lain mungkin mengatakan, nikmat terbesar adalah nikmat Iman dan Islam. Tapi bagi saya, itu hanya anggapan pikiran kita sendiri saja. Kalau orang lain semakin yakin karena ada ayat atau hadis yang menyatakan itu, lagi-lagi itu hanya cara kita memahaminya. Islam dan Iman yang seperti apa? Kalau Anda membaca ayat-ayat itu dengan tafsir, maka saya yang sesat juga punya perangkat-perangkat tafsir. Tapi sudahlah, tidak keren kalau kita berantem hanya soal tafsir. Apalagi si Tafsir, kawanku itu, sekarang sudah jadi anggota DPR. Yang jelas, saya menjalani Islam adalah sebagai upaya melanjutkan keyakinan dan tradisi orang tua. Tentu saja yang saya rasakan keislaman saya tidak pernah utuh.

Lalu? Saya harus memilih sendiri jalan yang saya anggap benar. Sekali lagi menurut anggapan saya. Dan entah kenapa pilihan saya, jatuh pada agama yang disebut Islam. Mungkin karena sisa-sisa ajaran orang tua dan lingkungan yang masih sangat memengaruhi saya. Padahal dengan sepenuh hati, saya juga memelajari agama-agama lain, berinteraksi dan menanyakan langsung dengan tokoh-tokoh agama lain. Namun entah kenapa, saya masih takut kalau ajaran lain salah. Dan saya merasa nyaman, bahwa hanya Islam saja yang benar. Tentu saja, ini semua juga masih dalam anggapan saya saja.

Apakah kebenaran itu bisa selesai oleh sebuah anggapan seperti yang saya lakukan ini? Kalau demikian, kenapa umat lain sangat yakin dengan ajaran yang mereka anut? Bukankah itu sebuah anggapan juga? Kalau masing-masing umat punya keyakinan-keyakinan sendiri tentang kebenaran, lalu dimana kebenaran yang sejati? Kalau sudah sampai di sini, biasanya suatu kelompok atau agama tertentu akan berkata, “Ya hanya keyakinan kami yang benar!” “Oke, ajaran Anda yang benar, tapi apa alasannya?” Maka dengan santai Anda akan menjawab, “Tentu saja, karena di kitab suci kami, ada satu ayat yang menyebutkan bahwa hanya agama “inilah” yang benar.” “Lho, bagaimana kami akan percaya dengan alasan itu, bukankah itu adalah kitab yang Anda percayai, sementara saya sama sekali tidak percaya dengan agama Anda, apalagi kepada kitab yang Anda percaya itu. Kalau hanya itu alasannya, di dalam kitab saya juga ada ayat yang menyebutkan bahwa ajaran sayalah yang paling benar.” Lagi-lagi kita akan berantem. Ujungnya, biasanya akan muncul ungkapan, “Okelah kalau begitu, silakan saudara yakini agama dan kepercayaan saudara, kita buktikan nanti di akhirat, siapa yang benar.” Wah-wah, luar biasa agama sudah dipertaruhkan. Dan tanpa sadar saya tetap kukuh dengan keyakinan yang saya anggap benar. Sekali lagi yang saya sanggap benar.

Baik, saya akan lanjutkan ciri-ciri kesesatan saya. Jujur saja, selama ini saya memilih agama Islam karena saya punya harapan sekaligus punya kekhawatiran. Harapan saya tentu saja ingin selamat di dunia, sukur-sukur nanti di akhirat. Sedangkan kekhawatiran saya adalah jika saya tidak memilih Islam, maka saya akan sengsara di dunia dan juga nanti di akhirat. Persis seperti doa sapu jagat itu. Amit-amit jabang bayi. Ternyata, saya memilih dan meyakini agama Islam semata-mata demi kepentingan saya sendiri. Ya, jujur saja, saya beragama Islam, beribadah, berbuat baik, salih, semata-mata karena supaya selamat dan diselamatkan oleh Tuhan. Kehidupan agama dan sosial saya tidak pernah otentik! Karena apa yang selama ini saya lakukan hanya demi memenuhi ego dan kepentingan diri semata. Mulai dari selamat dan damai di dunia, sampai nanti akan masuk surga dan bahagia selama-lamanya. Ya, ternyata selama ini saya beribadah demi sebuah kepentingan diri.

Sepanjang itu pula, saya sangat bergantung pada amal. Saya paling takut kalau saya tidak mengerjakan amal ibadah. Saya akan begitu merasa lega kalau misalnya sudah mengerjakan shalat. Rasanya kewajiban saya sudah gugur. Tak peduli apakah orang lain sengsara atau masuk neraka. Karena yang ada dalam benak saya adalah bahwa Tuhan hanya akan menerima hamba yang memiliki amalan yang cukup. Pantas saja selama ini saya takut mati! Karena saya masih terus merasa kurang menjalani amal ibadah saya. Ibadah yang saya jalani selalu dalam ukuran kualitatif. Wajar saja bila saya masih selalu merasa kurang lengkap dan kurang ikhlas menjalani ibadah saya. Tapi bagaimana saya bisa ikhlas, sementara semua ibadah yang saya lakukan adalah demi kepentingan saya sendiri? Ketergantungan saya terhadap amal ini saya pertaruhkan. Saya tidak peduli dengan prinsip Allah sebagai tempat bergantung (Allahusshomad). Saya tak peduli dengan prinsip Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamaati lillahi robbil’alamin. Itu cukup di mulut saya saja. Inilah kesesatan saya yang nyata. Tapi, tenang saja, Anda masih golongan yang benar. Anda tentu tidak begitu, bukan?

Lalu saya mencoba menjalani kehidupan Islam saya secara lebih ketat. Saya mencoba mengikuti jalan tarikat sebagai titian khusus seorang pencari kebenaran. Di sana, saya malah semakin tergantung pada amal. Saya merasakan bagaimana saya mengagungkan amalan-amalan, wirid-wirid tertentu, yang bila semakin banyak saya lakukan, saya makin merasa nyaman dan tentram. Tentu saja merasa tentram, karena saya merasa memiliki amalan yang cukup. Dzikir dan tarikat yang saya jalani, semakin menjadi adiktif, membuat saya selalu ketagihan. Dzikir dan kontemplasi hanya menjadi pelarian di malam hari, tapi ketika siang hari datang, hati kembali berkobar dalam angkara. Di sini, saya tidak mendapatkan akar. Semua ritual yang konon dapat menghapus kegelisahan, ternyata hanya pengalihan sesaat. Keasyikan berzikir, sama nilainya dengan keasyikan bermain drum, bermain gitar, atau membacakan sajak. Semua upaya batin melalui olah nafas, zikir pelan dan keras, konsentrasi dan sebagainya tetap saja menjadi sebentuk pengalihan. Hebatnya, kondisi saya yang dipenuhi ragam amalan yang dilakukan terus-menerus membuat saya selalu siap untuk mati. Tapi ujung-ujungnya sama saja, siap mati karena kesadaran mengagungkan amal. Keyakinan yang semakin kuat adalah, hanya sang amal yang akan menyelamatkan saya. Padahal konon, Tuhan memanggil, “Hai jiwa yang tenang, pulanglah ke pangkuan-Ku.” Bukan berkata, “Hai amal-amal yang banyak, datanglah.”

Dalam tarikat itu pula saya asik dengan “upaya” pembersihan diri. Saya merasa sanggup untuk membersihkan diri saya sendiri. Bahkan, upaya-upaya pembersihan diri (tazkiyah nafs) itu, memberi peluang kepada saya untuk menjadi sok suci, yang ujungnya merendahkan pribadi lain yang dianggap “kotor”. Hebat, bukan? Dengan apa? Tentu saja saya membersihkan jiwa saya dengan semua amalan yang mesti saya lakukan. Semakin banyak wirid yang saya baca, maka semakin bersihlah saya. Itu logika sederhana saya. Seperti lagu Rhoma Irama dalam ungkapan lain, “Kau yang mengotori, kau yang membersihkan.”

Tak hanya itu, saya juga semakin mantap karena dalam satu tarikat itu, hadir sosok guru yang biasa disebut mursyid. Wah, dengan keberadaan seorang mursyid, saya semakin nyaman lagi. Apalagi sang mursyid dengan bahasa cintanya sering mengakatan bahwa dirinya akan menyelematkan para pengikutnya melalui syafaatnya, kelak di akhirat. Tentu saja, saya yang sesat ini, tidak percaya bahwa puncak syafaat sesungguhnya adalah kesadaran. Alih-alih saya lebih berharap dan mendapat tempat di hati mursyid, ketimbang Tuhan. Sosok mursyid benar-benar telah menggantikan posisi Tuhan dalam hati saya. Maka, saya selalu cari perhatian (caper) di hadapan mursyid saya sendiri. Saya akan selalu tampil sok salih dan sok suci. Maka, tak peduli siang tak peduli malam, saya akan lakukan apa saja demi mursyid saya. Saya akan nyaman untuk bangun pada setiap malam, menunaikan shalat malam, berzikir sampai ribuan kali. Tapi kali ini beda, saya bukan lagi ingin selamat atau takut neraka, tapi saya melakukan semua itu demi tujuan yang lebih keren lagi; yakni mencapai Ma’rifat. Mantap, to? Maka ma’rifatlah yang menjadi tujuan saya. Dalam ekspresi lidah saya, memang mengatakan hanya Tuhan yang saya tuju, hanya Tuhan yang saya maksud, namun pelan-pelan dalam hati saya juga berdesir, saya juga ingin selamat, lho! Lagi-lagi, semua itu saya lakukan demi sebuah harapan. Harapan ma’rifat, atau pun harapan keselamatan diri. Inilah kesesatan saya. Kalem aja, sampai di sini Anda masih termasuk kelompok yang benar. Kalau pun Anda begitu, pasti tidak begitu-begitu amatlah!

Bah! Lalu kemana lagi? Ah, tidak usah mikirin orang sesat, kita lanjutkan saja bukti kesesatan saya yang lain. Bukankah akan disebut Tuhan jika DIA Mutlak Tak Terbatas? Kalau memang Tuhan itu Mutlak tak terbatas, maka tidak ada batasan-batasan cara untuk mendapatkan Tuhan. Tapi saya tetap menghargai Anda yang meyakini bahwa Tuhan yang benar adalah Tuhan yang Anda yakini itu. Tapi ingat, karena Tuhan itu Maha Mutlak, maka begitu banyak cara Tuhan—yang tak terbatas itu—untuk menghampiri hamba-hamba-Nya. Tapi tak ada satu jalan pun dari hamba untuk sampai kepada Tuhan. Hebat sekali kalau saya beranggapan bahwa saya akan sampai kepada Tuhan. Memangnya Tuhan itu terminal? Tuhan adalah Sang Kebenaran Yang Mutlak (Al-Haq). Dan kalau ada seseorang yang mengaku paling mengetahui Tuhan secara utuh, maka saya akan segera datangi orang itu, dan saya akan sembah orang itu. Karena dia ternyata lebih hebat dari Tuhan. Apa hebatnya? Karena orang itu merasa bisa mengetahui Tuhan dengan caranya. Memangnya kita bisa melihat benda-benda di sekitar kita tanpa keberadaan cahaya (matahari)? Coba saja masuk ke dalam kamar gelap tanpa cahaya. Buka mata lebar-lebar, apakah kita bisa melihat? Tidak! Kita melihat karena ada cahaya. Dan bodoh sekali rasanya ketika di siang hari kita bisa melihat sesuatu, tanpa menyadari keberadaan Matahari.

Entahlah. Bagi saya yang sesat ini, kebenaran adalah negeri tanpa jalan. Menurut saya, manusia tidak bisa sampai kepada kebenaran melalui organisasi, melalui kepercayaan, melalui dogma, pendeta, mursyid, syekh, kyai, wali, artis, atau bahkan ritual apa pun. Tidak pula kebenaran diperoleh melalui pengetahuan filosofis atau teknik-teknik psikologis. Kebenaran juga tidak bisa didapatkan hanya adengan memperbanyak amalan, ibadah, meditasi, kholwat atau yang sejenis. Kebenaranlah yang akan menemukannya sendiri dalam kesadaran batin sendiri. Kebenaran tak bisa didapatkan melalui “cara”; apakah itu cara analisis intelektual, filosofis, metafisik, atau pembedahan introspektif.

Kemudian, kalau pun saya memilih agama tertentu, sekali lagi lebih karena asumsi-asumsi saya sendiri. Apalagi kalau yang menyampaikan sekaligus menguatkan adalah seseorang wali yang bisa menghilang dan terbang, wah saya akan semakin mantap dengan keyakinan saya. Saya akan mengatakan bahwa matahari itu panas, tergantung pendapat guru saya. Kalau guru saya mengatakan matahari itu dingin, maka saya akan menerima kebenaran itu. Meskipun jelas-jelas saya merasakan sengatan mahatari yang terik. Maka, saya juga tidak perlu membuktikan es itu dingin, karena percuma saja saya rasakan dinginnya es kalau ternyata sang guru mengatakan bahwa es itu panas. Kebenaran yang saya dapatkan adalah kebenaran kata orang. Bukan Sang Kebenaran itu sendiri yang bicara.

Bila demikian, sepertinya saya tidak akan pernah bisa mendapatkan kebenaran. Karena saya tidak pernah pasrah untuk menerima kebenaran. Karena yang selama ini saya lakukan adalah upaya keras untuk mendapatkan kebenaran. Saya akan melakukan cara apa saja, demi mendapatkan kebenaran. Maka, kebenaran yang saya dapatkan adalah kebenaran melalui cara-cara tertentu, upaya-upaya tertentu, motif-motif tertentu, dan keyakinan-keyakinan tertentu. Bahkan pada pengamatan terhadap pohon atau rumput, selalu menyertakan si "aku". Si Aku selalu muncul pada setiap pengamatan dan penyaksian. Lalu bagaimana pengamatan bisa murni (mukhlis) dan utuh (akmal)?

Selagi saya meyakini ajaran saya yang seperti ini, jiwa saya tidak pernah merasa bebas dan merdeka. Karena saya selalu membangun citra-citra tertentu sebagai pagar keamanan, keimanan, politis dan pribadi. Pantas saja saya masih memilih agama sesuai asumsi diri. Saya akan terus didominasi oleh pemikiran, anggapan, relasi dan kehidupan sehari-hari orang lain. Harapan memiliki citra ini dan citra itu, adalah penyebab utama dari kesesatan saya sendiri. Apalagi selama ini pula, kepercayaan atas kebenaran yang saya yakini, dibentuk oleh konsep-konsep yang telah tertanam dalam batin saya. Maka, kebebasan saya tidak pernah superfisial, tapi selalu artifisial. Kebenaran yang saya jalani tidak pernah utuh dan otentik. Bagaimana saya tidak bebas merdeka, bagaimana saya tidak sesat, sementara apa yang saya amati selalu dipenuhi motif pribadi. Saya tidak pernah polos dalam pengamatan. Saya tidak pernah lepas dari rasa takut hukuman atau harapan ganjaran.

Sampai di sini, Anda masih sebagai kelompok yang benar. Dan tentu saja, saya masih bercokol dalam kesesatan yang nyata. Meski kesesatan yang saya rasakan juga masih berangkat dari asumsi saya. Artinya, kalau boleh berasumsi, saya juga bisa beranggapan bahwa Anda juga sesat, selagi itu masih menggunakan pikiran-pikiran Anda sendiri. Ah, tapi tidak. Pikiran Anda tepat, kok. Anda tetap sebagai golongan yang benar. Bukankah ini logika yang sudah kita sepakati bersama? Anda benar, dan saya akan tetap dan terus salah. Oke?

Dan bukti-bukti kesesatan saya yang lain adalah, setiap kali saya bertindak, tindakan saya selalu didasarkan pada pengetahuan. Padahal, pengetahuan hanyalah akumulasi waktu. Kenapa waktu? Karena pengetahuan adalah produk pikiran yang sudah lampau. Bukankah, pengetahuan hanya kumpulan pikiran-pikiran yang mendokumentasikan akan hal-hal lampau? Dengan demikian, maka selama ini saya selalu diperbudak oleh masa lalu. Pantas saja saya selalu didera konflik dan pergulatan terus menerus, ini karena saya masih bermain dan mengerahkan pikiran saya. Saya sudah mencoba ketika melihat matahari, rumput, kecoa, dan pori-pori. Meski saya berusaha jujur menyaksikan, tapi lagi-lagi selalu muncul affirmasi pengetahuan yang selama ini saya peroleh. Selalu saja di sana muncul si Aku.

Ah, meski sesat, tapi saya tetap keren. Toh saya masih menganut prinsip Laa ilaha illa Allah. Bukankah prinsip itu yang menjadi pondasi ajaran Islam? Tapi, Laa ilaha illa Allah yang saya pahami hanya sebatas ucapan. Saya tak mampu melakoni kesadaran Laa maujuda illa Allah atau pun Laa Masyhuda illa Allah. Buktinya ketika saya melihat, saya masih menyadari keberadaan sosok yang melihat. Saya masih menyadari keberadaan saya ketika saya berjalan, menulis, atau apa pun. Apa buktinya? Karena saya berasumsi. Sementara asumsi atau persepsi adalah buah pikiran. Sedangkan pikiran adalah produk si “aku”. Bagaimana saya bisa tidak sesat sementara masih ada si "Aku” dalam semua hal? Bukankah Tidak Ada Tuhan kecuali yang dikecualikan?

Bagaimana? Jelas sudah kesesatan saya to? Memang itu di antara sekelumit kesesatan saya. Dan saya bangga dengan kesesatan ini, sementara Anda masih baik-baik saja dengan kebenaran Anda. Anda tak perlu khawatir, karena Anda lebih oke dibanding saya. Ingat, logika yang telah kita sepakati bersama, “Saya sesat, Anda benar. Atau, Anda benar, saya sesat.”

Kini saya hanya bisa melenggang, sambil bernyanyi, “Sesat-sesat di dinding, diam-diam merayap, datang Sang Kebenaran, HAQ, lalu ditangkap!”***

Posting Komentar