Al-Quran, dari tradisi lisan hingga kodifikasi


Akhir-akhir dekade ini beberapa pemikir Indonesia dengan latar belakang pendidikan agama telah menyatakan berbagai gugatan dan hujatan terhadap Al-Quran. Fenomena ini adalah kasus baru karena dalam era penjajahan Belanda, Inggris, dan Jepang di Indonesia, kasus semacam ini tidak pernah terjadi.

Sebagai contoh, Luthfi Assyaukanie, salah seorang Pendiri Jaringan Islam Liberal yang tulisannya banyak dimuat dalam website Islam Liberal menyatakan:

“Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma‘nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik dan rekayasa.”

Kritik yang paling keras terhadap Mushaf Utsmani dilontarkan dalam Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang, edisi 23 Th XI (2003). Dalam kata pengantar redaksi, ditulis sebagai berikut:

“Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruksi Qur’an, dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman bin Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Quran produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”

Dengan melihat kondisi semacam ini, maka perlu dipaparkan secara benar dan terang sejarah kodifikasi Al-Quran hingga sampai ke tangan muslim sekarang ini guna membuktikan ketidakbenaran tuduhan-tuduhan miring kaum Islam Liberal yang sesungguhnya hanya membebek pendapat para orientalis.

Sebenarnya mendasarkan otentisitas Al-Quran hanya pada kajian penulisannya tidaklah tepat, karena Al-Quran lebih banyak dijaga oleh para shahabat dengan tradisi hafalan. Bangsa Arab saat itu terkenal memiliki bakat hafalan yang kuat yang tak dimiliki oleh bangsa lainnya. Pada saat itu bangsa Arab juga banyak yang tak bisa baca tulis, sehingga mereka banyak menyimpan memori berbagai ucapan dan perkataan dengan menghafalnya.

Al-Quran sebagai wahyu dari Allah Ta’ala diberi mu’jizat berupa nilai sastranya yang begitu tinggi dan susunannya yang tak ada tandingannya dari sastrawan Arab manapun. Selain itu, Al-Quran juga turun secara berangsur-angsur selama 33 tahun. Kedua faktor ini membuat Al-Quran mudah dan begitu menarik oleh bangsa Arab khususnya para shahabat untuk menghafalkannya. (Abdul Azhim al-Muth’ani dalam Haqaiq al-Islam fi Syubuhat al-Musyakkikin, hlm. 13)

Selain dengan hafalan, Al-Quran juga ditulis. Pada zaman Nabi, ketika Rasulullah telah menerima wahyu dari Jibril AS, beliau segera memerintahkan para sekretaris beliau untuk menulis ayat yang beliau terima. Menurut Dr. Musthafa al-Azami, ada kurang lebih enam puluh lima sahabat yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad untuk menulis wahyu. (Prof. Dr. Musthafa al-Azami, The History of Al-Quran: From Revelation to Compilation, hlm. 71)

Al-Quran yang langsung berasal dari Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam kemudian tersebar pada kaum Muslimin baik dari mulut Rasul sendiri atau dari para sekretaris beliau. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa pada zaman Nabi ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam, otentisitas Al-Quran tidak diragukan lagi karena Al-Quran terjaga dalam hafalan para shahabat ditopang dengan teks tertulis hasil penulisan sekretaris beliau.

Kemudian pada zaman khalifah Abu Bakr, atas rekomendasi Umar maka beliau membuat kebijakan untuk mengumpulkan teks-teks Al-Quran yang terpisah-pisah di dalam pelepah kurma dan dedaunan hasil penulisan para shahabat. Hal ini karena para Qurra’ (julukan bagi shahabat yang hafal seluruh Al-Quran) banyak yang terbunuh dalam perang Yamamah pada tahun 11-12 H. Diperkirakan sekitar 600-700 kaum muslim meninggal termasuk 70 diantaranya adalah para Qurra’. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Qurra’ yang tersisa tinggal 4 orang, ada yang mengatakan 7 orang. Maka penghimpunan Al-Quran tertulis menjadi keniscayaan. (Adnin Armas, Serangan terhadap Al-Quran dari Orientalis hingga Islam Liberal, hlm. 4)

Penghimpunan disini adalah pengumpulan manuskrip Al-Quran dan mengurutkan sesuai dengan urutan turunnya. Tujuan pengumpulan Al-Quran tersebut adalah untuk membuat rujukan standar ketika terjadi perbedaan bacaan diantara shahabat yang menghafal ayat-ayat Al-Quran.

Lalu pada masa selanjutnya, khalifah Utsman bin Affan melakukan kodifikasi Al-Quran dalam satu mushaf atas rekomendasi Hudzaifah bin Yaman untuk mempersatukan bacaan kaum Muslimin. Hal ini disebabkan adanya perbedaan bacaan diantara kaum muslimin dan mulai munculnya fanatisme buta terhadap satu bacaan yang berakibat saling berkompetisi satu sama lain dan munculnya bacaan-bacaan Al-Quran yang tidak shahih sehingga dikhawatirkan munculnya perpecahan umat Islam tentang Al-Quran sebagaimana terjadi pada kaum Yahudi dan Nashrani. (Baca juga: Naskah Asli Yang Dimusnahkan oleh Khalifah Ustman)

Lalu khalifah Utsman membuat tim kodifikasi yang terdiri 4 orang yaitu Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim, Abdullah bin Zubair, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Harits. (Haqaiq al-Islam fi Syubuhat al-Musyakkikin, hlm. 20) Menurut Dr. Musthafa al-Azami, jumlah tim kodifikasi tersebut berjumlah dua belas. (The History of Al-Quran: From Revelation to Compilation, hlm. 98) Zaid dipilih sebagai ketua tim mempertimbangkan pengalaman beliau sebagai sekretaris Nabi dalam menulis Al-Quran dan keterlibatannya dalam pengumpulan Al-Quran pada zaman khalifah Abu Bakr.

Dalam kodifikasi Al-Quran ini ada dua rujukan standar dalam menyeleksi bacaan yang benar yaitu bacaan yang terdapat dalam mushaf Abu Bakr dan bacaan yang telah diakui dan dipersaksikan oleh minimal dua Hafizh yang adil. Maka tersusunlah Al-Quran dalam satu mushaf bernama “Mushaf Imam” yang disepakati oleh kaum muslimin dan tidak ada yang menentang, termasuk Ibn Mas’ud. Meski beliau juga memiliki mushaf khusus, beliau tidak menentang mushaf hasil ijma’ para shahabat tersebut. Mushaf Imam lalu dikopi menjadi belasan eksemplar lalu dikirim ke kota-kota besar seperti Kufah, Basrah, dll.

Para shahabat saat itu menerima dengan senang hati keputusan khalifah Utsman untuk melakukan standardisasi. Menurut Mush’ab bin ‘Umair, tak ada seorangpun dari Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang berilmu yang mengingkari perbuatan khalifah Utsman. Shahabat Ali pun menyatakan ketika khalifah ‘Utsman membakar mushaf-mushaf, “Seandainya ia belum melakukannya, maka aku yang membakarnya.” (Serangan terhadap Al-Quran dari Orientalis hingga Islam Liberal, hlm. 12)

Adapun pemberian titik, harakat, dan tanda baca pada Al-Quran sebenarnya tidak terjadi pada masa khalifah ‘Utsman, melainkan baru ada pada masa Tabi’in. inovasi tersebut dimaksudkan sebagai alat bantu untuk membaca Al-Quran bagi muslim yang tidak hafal Al-Quran supaya bacaannya tidak salah. Pemberian tanda baca pada Al-Quran tersebut telah disepakati oleh para ulama dan termasuk bid’ah hasanah, dan sama sekali tidak mengubah atau menambahi kalimat atau huruf pada Al-Quran seperti tuduhan kaum skeptis (peragu). Buktinya adalah tidak adanya perubahan dalam membaca tulisan Al-Quran tersebut dari aslinya. Termasuk inovasi dalam penulisan Al-Quran adalah pemisahan tiap surah dalam Al-Quran dengan Basmalah, penomoran ayat di tiap surah, pemberian tanda baca pada bacaan al sajdah, dan peletakan bagian-bagian dalam Al-Quran seperti juz, rub’, hizb, nishf, dan tsuluts untuk menemukan ayat atau surah dalam Al-Quran, dan tidak merubah kalimat dalam Al-Quran tersebut. (Haqaiq al-Islam fi Syubuhat al-Musyakkikin, hlm. 26)

Sedangkan hukum Basmalah dalam setiap surah tersebut telah dibahas oleh para ulama. Dalam kitab I’anah al Thalibin dijelaskan bahwa yang termasuk bagian surah secara hakiki hanyalah Basmalah dalam surah al-Fatihah, sedangkan Basmalah di surah lain hanya tambahan dari para ulama untuk tujuan diatas. (Abu Bakr Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, juz 1 hlm. 139)

Maka dengan ini menjadi jelas bahkan pemikiran yang mengkritik otentisitas Al-Quran bersumber dari Yahudi-Kristen. Dengan melakukan tafsiran-tafsiran baru kepada sumber-sumber dari dalam (internal source) tradisi Islam, para orientalis telah membangun teori baru yang bertentangan dengan pendapat para ulama. Sayangnya, pemikir-pemikir Muslim banyak yang terpengaruh dengan pemikiran para orientalis. Akhirnya, gugatan demi gugatan dilontarkan oleh pemikir Muslim kepada Al-Quran. Mengatasi persoalan tersebut, sudah masanya untuk mempelajari khazanah keilmuan Islam dengan benar dari para ulama dan meneliti secara serius karya para orientalis yang telah membaratkan studi Al-Quran dan studi Islam. Wallahu a’lam.

[Sumber: DAKWATUNA.COM



Posting Komentar