Kajian Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 121


Tentang orang-orang yang ingkar kepada-Nya, sungguh mereka merugi

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

alladziina aataynaahumu alkitaaba yatluunahu haqqa tilaawatihi ulaa-ika yu/minuuna bihi waman yakfur bihi faulaa-ika humu alkhaasiruuna

Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Surat Al-Baqarah [2]:121)

(1). Perlu disampaikan bahwasanya kita sekarang sudah memasuki ayat-ayat terakhir pembahasan panjang tentang Bani Israil. Pembahasan yang dimulai di ayat 40 ini sebentar lagi berakhir (untuk sementara) di ayat 123. Artinya tinggal 2 ayat lagi. Pembahasan berikutnya pindah ke Nabi Ibrahim dan keluarganya, guna menjelaskan terjadinya—dan sekaligus penyebab terjadinya—inkonsistensi, bias dan deviasi di sepanjang sejarah Bani Israil terhadap مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) datuk mereka Nabi Ibrahim. Sehingga gelar “agama-agama ibrahimik” yang sering disandangkan kepada agama-agama mereka (Yahudi dan Nashrani) hanyalah bersifat genealogi (garis keturunan bilogis) semata dan sama sekalai tidak lagi bersifat teologis. Ayat 119, 120, dan 121 bisa dikatakan kesimpulan dan sekaligus maksud dari penceritaan tersebut. Sedangkan ayat 122 dan 123 hanyalah epilog untuk mengingatkan pembaca bahwa rangkaian cerita ini adalah berkenaan dengan Bani Israil yang melupakan nikmat agama tauhid yang Allah karuniakan kepada mereka yang menyebabkan mereka (seharusnya) menjadi wangsa yang utama dan termulia (ayat 122); tetapi karena mereka selalu menyelisihi risalah tersebut, dengan cara menentang dan merusaknya, maka mereka masing-masing (secara personal) akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah swt (ayat 123). Mari kita lihat sepintas ayat 119 dan 120.


Satu, ayat 119: “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan (membawa) kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggung-jawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.” Ayat ini hendak berpesan bahwa “Kamu Muhammad adalah pewaris agama Ibrahim yang sah, pewaris مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) Ibrahim yang sebenar-benarnya. Kamu bukan hanya keturunan genealoginya, tapi sekaligus penerus ajaran teologinya. مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka (Yahudi dan Nashrani) bukan lagi Ibrahim punya, melainkan hasil rekayasa mereka masing-masing. مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka bukan lagi penyerahan diri kepada Allah, tapi penyerahan diri kepada (kehendak) hawa nafu mereka. Alih-alih mereka meneruskan agama ibrahimik, mereka malah membunuh nabi-nabi dan merusak ajarannya.”


Dua, ayat 120: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepadamu (Muhammad) hingga kamu mengikuti millah (pola hidup atau agama) mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan jika seandainya kamu benar-benar mengikuti hawa nafsu (kehendak) mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” Artinya, bukti terjadinya inkonsistensi, bias, dan deviasi yang terjadi pada mereka ialah sikap kebenciannya kepada Nabi Muhammad. Padahal agama ibrahimik tidak pernah menolerasi dan membenarkan kebencian kepada perbedaan agama dan keyakinan, bahkan dari rumpun kenabian yang berbeda sekalipun. Agama hanya memerintahkan membenci pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaku ketidakadilan, dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Kebencian kepada kebenaran inilah yang menerangkan kenapa Nashrani berkolaborasi dengan penguasa Romawi selama 1000 tahun menjeremuskan bangsa-bangsa Eropa ke dalam Abad Kegelapan, kemudian berlanjut menjadi pendudukung kolonialisme Barat terhadap negara-negara lainnya selama hampir 500 tahun. Ini juga yang menerangkan kenapa wangsa Israil merampas tanah-tanah Bangsa Palestina dan membunuh penduduk aslinya dengan keji dan tak berperikemanusiaan, sebuah kejahatan yang tak pernah terdengar di sepanjang sejarah kemanusiaan. Pesan ini Allah sampaikan kepada umat Islam, melalui al-Qur’an, Kitab Suci terakhir hingga hari akhir, agar umat Islam jangan mengulangi apa yang terjadi pada mereka. Dan bukti kalau umat Islam juga mengalami inkonsistensi, bias dan deviasi ialah apabila mereka (umat Islam) juga sudah takut dan bahkan benci kepada perbedaan. Apabila mereka sudah mulai takut membaca karya-karya keilmuan yang berbeda dengan pandangan mereka. Kalau nanti umat Islam sudah TIDAK RIDHA kepada kelompok keagamaan dan kepercayaan lain, maka pada saatu itu muncul pertanda yang jelas bahwa umat Islam pun sudah mengalami inkonsistensi, deviasi dan biasa dari ajaran Islam Muhammadi, sebagaimana TIDAK RIDHA-nya Yahudi dan Nashrani kepada Nabi Muhammad yang dipandangnya berbeda dari apa yang mereka miliki dan amalkan selama ini. “Dan Kami telah turunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab suci sebelumnya, dan batu ujian (tola ukur) terhadap (kebenaran) kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian melalui pemberian-Nya kepadamu; maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian semuanya (kelak akan) kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kalian perselisihkan itu.” (5:48)


(2). Kenapa bisa terjadi inkonsistensi, bias, dan deviasi pada perjalanan sejarah Bani Israil terhadap garis teologi agama datuknya, Nabi Ibrahim as? Ayat 121 ini menjawabnya. Yaitu karena mereka menyimpan dan membaca Kitab Suci yang mereka imani tetapi tidak mebacanya dengan benar. Klausa “tidak mebacanya dengan benar” di sini bukan dalam pengertian tidak membaca dengan tahsin dan makhraj (spelling atau pengucapan) yang benar menurut kaidah-kaidah ilmu tajwid, tapi tidak menurut maksud dan kandungan makna ayat-ayat dari Kitab Suci tersebut. Mereka melakukan tahrif terhadap Kitab Suci sehingga ayat-ayatnya keluar dari makna sejatinya, menjadi tidak rasional dan ridak inspiratif. Ayat-ayat tersebut ‘dimanipulasi’ sedemikian rupa sehingga kehilangan ĕlan vital-nya. Ujung-ujungnya, agama menjadi kering dan kehilangan kemandiriannya. Agama menjadi tidak bisa berdiri tanpa topangan kekuasan yang justru berasal dari luar dirinya. Ulama-ulama—sebagai pemegang otoritas keagamaan—puas hanya menjadi mufti (tukang fatwa) dari penguasa tersebut. Fatwa ulama menjadi tidak memihak kepada rakyat yang tertindas, tapi kepada penguasa yang membayarnya. Ulama, atas nama agama dan Kitab Suci, menjadikan dirinya sebagai corong penguasa. Inilah yang menyebabkan ulama-ulama Bani Israil tidak lagi bertugas sebagai pembimbing umat menemukan, memilih, dan mengikuti kebenaran; sebaliknya, mereka justru memprovokasi umat untuk menentang legalitas Nabi Muhammad sebagai nabi yang telah ternubuwatkan di dalam Kitab suci mereka dengan jelas. Kalau begitu apakah di antara mereka pada akhirnya tidak ada yang mengimani Nabi Mhammad? Ada. Banyak juga. Siapa sajakah mereka itu? الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ [alladzĭyna ātaynaɦumul-kitāba yatlŭwnaɦu haqqa tilāwatiɦi ŭwlāika yu’minŭwna biɦi, orang-orang yang telah Kami berikan Kitab Suci kepadanya, (kemudian) mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itulah (yang) beriman kepadanya]. Mereka inilah yang diisyaratkan Allah di ayat berikut ini: “Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada (juga) golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.” (3:113)


(3). Berdasarkan ayat yang barusan kita kutip (3:113), ternyata yang dimaksud dengan يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ (yatlŭwnaɦu haqqa tilāwatiɦi, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya) ialah “membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.” Berdasarkan lahiriah ayat, “membaca Kitab Suci dengan bacaan yang sebenarnya” adalah membacanya di malam hari, kemudian tiap-tiap ayatnya membuat yang bersangkutan tersungkur sujud menunjukkan penerimaannya yang tanpa resĕrve kepada kandungan dari ayat-ayat tersebut, persis seperti bersujudnya para malaikat kepada Adam saat menerima perintah dari Tuhannya. Mengapa musti malam hari? Karena, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (73:6-7) Sedangkan secara batiniah, kata “malam” bisa diartikan sebagai “kondisi gelapnya jiwa” akibat kepandiran dan kejahilan diri. Artinya Kitab Suci hanya akan berfungsi sebagai penuntun manakala pembacanya menempatkan dirinya sebagai orang bodoh, orang tak berilmu, di hadapannya. Jikalau kondisi ini tidak tercapai, alih-alih mendapatkan petunjuk dan pencerahan, si pembaca malah justru menggurui Kitab Suci dengan menafsirkannya sekehendak hawa nafsunya, atau menafsirkannya sesuai dengan kecenderungan mazhabnya, organisasinya, partainya. Ketahuilah bahwa hanya orang yang merasa berada dalam kegelapanlah yang membuthkan suluh sebagai sumber cahaya yang menerangi. “Katakanlah: ‘Bagaimana pendapat kalian, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kalian tidak mendengar?’.” (28:71)


(4). Dan memang, faktanya, tanpa cahaya ilahi, jiwa manusia akan terus berkubang dalam kegelapan. Itu sebabnya Allah menekankan: وَمن يَكْفُرْ بِهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (wa man yakfur biɦi fa uwlāika ɦumul-khāsirŭwn, dan siapa saja yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi). Orang yang menolak atau menutup diri terhadap Kitab Suci sama sekali tidak merugikan Allah sedikit pun. Karena Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (2:267, 14:8, 31:12, 35:15). Yang mereka rugikan adalah diri mereka sendiri. Allah mengirim Rasul dan Kitab Suci adalah bukti cinta-Nya kepada kita hamba-Nya. Dia dan Rasul-Nya tidak berpamrih kepada kita. “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (26:109, 127, 145, 164, dan 180). Iman kita tidak menambah kemuliaan Allah dan Rasul-Nya. Keingkaran kita tidak mengurangi kemuliaan keduanya. Allah Maha Suci dari segala bentuk kebutuhan. Kitalah yang butuh kepada-Nya. Kitalah yang butuh kepada Rasul-Nya. Kitalah yang butuh kepada Kitab Suci-Nya. Ahli Kitab yang men-tahrif Kitab Sucinya, menentang dan mengkhianati Rasul-Nya, sungguh tidaklah merugikan Allah dan Rasulnya. Yang merugi adalah diri mereka sendiri beserta anak-anak mereka yang datang sesudahnya karena tertipu oleh ulah orang-orang tuanya. “Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (39:63)

AMALAN PRAKTIS
Umat Islam semuanya, dari mazhab manapun, memegang dan membaca Kitab Suci yang sama. Lalu kenapa mereka berpecah-belah sehingga persatuan baginya hanyalah angan tanpa kenyataan? Jawabannya: kita tidak membaca Kitab Suci dengan bacaan yang sebenarnya. Kita membacanya menurut perpekstif mazhab, kelompok, organisasi, dan partai kita masing-masing. Kitab Sucilah yang kita paksa bersujud kepada golongan kita, dan bukan golongan kita yang kita paksa bersujud kepada Kitab Suci.

[Sumber: Tafsir Al-Quran]








Posting Komentar