Ibnu Taimiyah Menshahihkan Hadits Allah Berambut Keriting?


Jika coba googling untuk mencari kebenaran hadits yang konon katanya "dishahihkan" oleh Ibnu Taimiyah perihal wujud Allah yang menyerupai pemuda Amrad berambut keriting tanpa kumis dan janggut, atau hadits yang dapat dianggap sebagai pernyataan Rasulullah Shallallahu A'layhi Wa Salam bahwa Allah menyerupai manusia; maka kita akan menemukan berbagai reaksi umat Islam yang pada umunya menolak keras, bahkan menuding beberapa pihak, terutama Ibnu Taimiyah yang menshahihkan hadits tsb sebagai sesat. 

Ini dapat dimengerti karena secara universal umat Islam di manapun di seluruh permukaan bumi ini meyakini sepenuhnya bahwa adalah mustahil Rasulullah Shallallahu Wa Salam mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan firman Allah sendiri sebagaimana tertulis di dalam Al-Quran, khususnya dalam QS. Al-Ikhlas:4 dan QS. As-Syura: 11 -- bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.

Oleh karena itu, tabayyun memang sangat diperlukan untuk mencari tahu bagaimana cerita yang sebenarnya,  sehingga kita tidak terjebak dalam membenarkan pendapat sendiri, apalagi menyalahkan orang lain.

Untuk itu, dari sekian banyak "reaksi" keras terhadap hadits dimaksud, penjelasan dari SALWA berikut adalah yang menurut saya paling sederhana dan paling mudah untuk dipahami tanpa perlu secara tendensius menuding kanan-kiri. Insya Allah!   

Ibnu Taimiyah Mujassimah dan Menshahihkan Hadits Allah Berbentuk Pemuda?


Ikhwan (Jakarta)
5 years ago

Assalamu'alaikum WrWb.
Apakah benar Ibnu Taimiyyah Menshahihkan Hadis “Nabi Melihat Allah SWT Dalam Bentuk Pemuda Amrad”. Mohon penjelasannya.
Syukron
Redaksi salamdakwah.com
5 years ago

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Dalam salah satu riwayat disebutkan:

عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُورَةِ شَابٍّ أَمْرَدَ، لَهُ وَفْرَةٌ جَعْدٌ قَطَطٌ، فِي رَوْضَةٍ خَضْرَاءَ "
Dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Saya melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda amrad (yang tidak berkumis dan tidak berjenggot), rambutnya kerinting dan lebat, Dia di dalam taman yang hijau. 

Ibnu Taimiyyah menshahihkan hadits ini, akan tetapi ia tidak sendirian dalam menshahihkan hadits ini, ada ulama'-ulama' lain yang juga menshahihkannya. 

Abu Ya'la (meninggal tahun 458 H) dalam kitabnya Ibthal at-Ta'wilat menyebutkan bahwa diantara yang menshahihkan hadits ini adalah ath-Thabrani dan imam Ahmad (ada perdebatan sedikit dalam masalah ini). Ibnu shadaqah al-Hafidz menyatakan bahwa barangsiapa yang tidak mempercayai hadits Ikrimah (hadits tadi) maka ia termasuk orang zindiq. Abu Zur'ah menyatakan bahwa orang yang mengingkari hadits Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma (hadits tadi) maka ia adalah orang mu'tazilah. [Lihat Ibthal at-Ta'wilat 1/143-145]

Seandainya oknum-oknum yang punya tujuan tidak baik itu mau adil tentu mereka tidak hanya mengarahkan tuduhan keji hanya kepada Ibnu Taimiyyah, akan tetapi mereka juga menuduh ulama'-ulama' yang menshahihkan hadits tersebut sebagai mujassimah, akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian, mereka hanya menjadikan Ibnu Taimiyyah sebagai target tuduhan mengingat Beliau banyak menyingkap kebobrokan dan tipu daya mereka dalam kitab-kitab Beliau.

Meskipun Ibnu Taimiyyah menshahihkan riwayat tadi, bukan berarti Beliau menyatakan dengan tegas bahwa Rasul shallallahu alaihi wa sallam melihat Allah ta'ala di dunia dalam keadaan terjaga berbentuk pemuda keriting sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat itu.

Ibnu Taimiyah mengomentari riwayat-riwayat dalam masalah itu: “Kesemuanya (riwayat-riwayat Hadits) menunjukkan bahawa ia adalah suatu ‘rukyah’ mimpi yang terjadi ketika Beliau di Madinah kecuali hadits Ikrimah dari Ibnu Abbas. Imam Ahmad telah menjadikan asal kedua-dua hadits itu (yaitu hadits riwayat Ibnu Abbas dan Umm Al-Tufail) [Bayaan Talbiis Al-Jahmiyah Fi Ta'sis Bida'ihim al-Kalamiyah 7/229] 

Beliau berkata lagi: 

“Dan Imam Ahmad yang memerintahkan untuk menyebarkan periwayatannya berterus-terang mengatakan bahawa ini adalah suatu ‘rukyah’ mimpi.” [Bayaan Talbiis Al-Jahmiyah Fi Ta'sis Bida'ihim al-Kalamiyah 7/194]

Beliau juga menegaskan: Melihat Allah di dunia dengan mata telanjang tidak pernah terjadi pada seorang pun di dunia ini dengan kesepakatan Ulama', akan tetapi terkait Nabi shallallaahu alaihi wa sallam ada dua pendapat. Ulama'-ulama' senior dan mayoritas mereka menyatakan bahwa Beliau tidak melihat-Nya dengan matanya sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah. [Al-Jawab as-Shahih liman Baddalal Diin al-Masih 3/321] 

Dari sini bisa difahami lemahnya tuduhan yang dialamatkan kepada Ibnu Taimiyah tentang penetapan bahwa Allah Ta'ala badannya seperti pemuda yang memiliki sifat sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat meski Beliau menshahihkan riwayat tersebut.

Melihat Allah ta'ala dalam mimpi dalam suatu bentuk tertentu tidak melazimkan bahwa apa yang dilihat dalam mimpi adalah sama persis dengan kenyataan yang ada. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Perkataan ‘rukyah’ (penglihatan) walaupun pada asalnya ia sepadan (dengan hakikat sesuatu itu- pent.) tetapi ada kalanya ia tidak sepadan. Sepertimana firmanNya:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا
"Maka (Pikirkanlah) adakah orang yang dibaguskan baginya amal buruknya (oleh Syaitan) lalu ia melihatnya baik)" (QS. Fatir: 8).


Dan Allah ta'ala berfirman:
يَرَوْنَهُمْ مِثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ
"Mereka (yang kafir itu) melihat orang-orang Islam dengan pandangan mata mereka – dua kali jumlahnya dibanding dengan mereka sendiri." (QS. Ali-Imran:13).

Boleh jadi suatu persangkaan atau khayalan itu sesuai (dengan hakikat sesuatu itu) dilihat dari salah satu sudut walaupun pada realitasnya ia tidak sama dengan hakikat sesuatu itu sepenuhnya. Sebagaimana yang dilihat oleh manusia dalam mimpi mereka. Barangkali ketika terjaga mereka melihat apa yang sejenis yang dilihat dalam mimpi, ia melihat gambaran, perbuatan ataupun mendengar kata-kata sedangkan itu merupakan permisalan yang diberikan untuk hakikat dari sesuatu itu. Sebagaimana Nabi Yusuf melihat bintang-bintang, Matahari dan Bulan sujud kepadanya. Tidak diragukan bahwa ia adalah sesuatu yang digambarkan olehnya sedangkan hakikatnya adalah sujudnya kedua ibu-bapak dan saudara-saudaranya kepadanya. Berkata Nabi Yusuf:

يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا
"Wahai ayahku! Inilah Dia tafsiran mimpiku dahulu. Sesungguhnya Allah telah menjadikan mimpiku itu benar." (QS. Yusuf:100).

Begitu juga dengan ‘rukyah’ (mimpi) si Raja yang ditafsirkan oleh Nabi Yusuf. Si Raja telah bermimpi melihat tangkai tumbuhan dan lembu, sedangkan hakikat tafsirnya adalah kesuburan dan kemarau. Apa yang dilihatnya dalam mimpi itu adalah benar sebagaimana yang tergambar buatnya. Dengan kata lain ia memiliki takwil yang benar.

Atas dasar ini, boleh jadi seseorang itu bermimpi melihat Rabbnnya serta berbicara dengan-Nya. Mimpi yang begini bisa jadi benar, namun orang itu tidak boleh beranggapan bahawa hakikat Allah adalah sebagaimana yang dilihat dalam mimpinya itu. Ini karena apa yang terbayang dalam mimpi tidak harus menyamai hakikat sesuatu itu. [Bayaan Talbiis Al-Jahmiyah Fi Ta'sis Bida'ihim al-Kalamiyah 7/194 1/325-326]

Dari sini juga bisa difahami bahwa bila benar Ibnu Taimiyyah menetapkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bermimpi melihat Allah ta'ala dalam bentuk tertentu maka ini tidak melazimkan bahwa bentuk tersebut adalah hakikat dari bentuk Allah ta'ala dan dengan demikian tidaklah tepat bila dikatakan bahwa Ibnu Taimiyyah memiliki keyakinan bahwa Allah ta'ala berbentuk pemuda dengan sifat-sifat tertentu.

والله تعالى أعلم بالحق والصواب

[Sumber: salamdakwah]

Posting Komentar