Sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadist banyak memuat penjelasan tentang kondisi di surga terkait dengan keberadaan bidadari ini. Beberapa hadist (sekurang-kurangnya melalui terjemahan Bahasa Inggeris atau Indonesia) memberikan gambaran tentang adanya hubungan seksual di surga, disamping adanya penjelasan Rasulullah tentang surga yang ‘tidak pernah terlihat oleh mata dan terpikirkan oleh pikiran’ – karena itu sulit untuk mengasosiasikannya dengan hasrat dan naluri seksual manusia – maka penjelasan hadist terasa terlalu simpang-siur dan dapat menyesatkan.
Untuk itu, mari kita coba mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita sendiri tentang bidadari di sorga melalui cara ‘mengutak-utik’ informasi yang tersedia di dalam Al-Qur’an.
Dari terjemahan Al-Qur’an berbahasa Indonesia kita menemukan sekurang-kurangnya 8 kelompok ayat yang memuat kata tentang bidadari di surga. Dari 8 kelompok ayat tersebut hanya 3 ayat yang menyebut secara jelas tentang bidadari, yaitu kata ‘huurin ‘iin’: kadzaalika wazawwajnaahum bihuurin ‘iinin"
[44:54] demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari.muttaki-iina ‘alaa sururin mashfuufatin wazawwajnaahum bihuurin ‘iinin"
[52:20] mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli.Wahuurun ‘iinun, ka-amtsaali allu/lui almaknuuni [56:22] Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli,
[56:23] laksana mutiara yang tersimpan baik.
kata bidadari melalui kata ganti termuat dalam 5 kelompok ayat Al-Qur’an:
1wa’indahum qaasiraatu alththharfi ‘iinun, ka-annahunna baydhun maknuunun
[37:48] Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya,
[37:49] seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik.wa’indahum = dan disisi merekaqaasiraatu = tidak liar pandanganatthafri = ujung/mata‘inun = mata2. wa’indahum qaasiraatu alththharfi atraabun
[38:52] Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya.wa’indahum = dan disisi mereka qaasiraatu = tidak liar pandangan atthafri = ujung/mata atraabun = sebaya3. fiihinna qaasiraatu alththharfi lam yathmitshunna insun qablahum walaa jaannun, ka-annahunna alyaaquutu waalmarjaanu
[55:56] Di dalam sorga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin. [55:58] Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.fiihinna = didalamnya mereka qaasiratu = pendek/menundukkan athafri = ujung/mata lamyathmitshunna = tidak/belum menyentuh mereka insun = manusia4. fiihinna khayraatun hisaanun, huurun maqshuuraatun fii alkhiyaami
[55:70] Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik.
[55:72] (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah. fiihinna = di dalamnya mereka khayraatun = baik-baik hisaanun = bagus-bagus/cantik-cantik huurun = yang putih/jelita maqsuuraatun = tersimpan/terpingit filkhiyaami = dalam mahligai/rumah5. innaa ansya/naahunna insyaan, faja’alnaahunna abkaaraan, ‘uruban atraabaan
[56:35] Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung
[56:36] dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.
[56:37] penuh cinta lagi sebaya umurnya.inna = sesungguhnya Kami ansya’naahunna = Kami jadikan mereka insyaa’an = dengan kejadian faja’alnaahunna = maka kami jadikan mereka abkaaran = gadis-gadis perawan.
Dari kelima kelompok ayat tersebut hanya ayat urutan ke-5 yang secara jelas menyebut objek yang dimaksud adalah berjenis kelamin wanita, sedangkan keempat ayat lainnya tidak secara jelas mengindikasikan apakah yang dimaksud adalah wanita atau bukan. Dalam terjemahan bahasa Indonesia kelompok ayat nomer 5 dibuat penjelasan dalam tanda kurung ‘bidadari’. Tafsir Jalalain juga memberikan penjelasan bahwa makhluk yang diciptakan tersebut adalah bidadari sekalipun Al-Qur’an tidak menyebut objeknya, dan kata ‘insyaa’an’ diartikan dengan kata ‘langsung’ yaitu yang diciptakan tanpa melalui proses kelahiran terlebih dahulu, sedangkan Tafsir Al-Mishbah tidak mengartikannya sebagai ‘bidadari’ dan tetap memakai kata ganti ‘mereka’, sedangkan kata ‘insyaa’an’ ditafsirkan dengan kata ‘sempurna’, sehingga bunyinya: ”Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dengan penciptaan sempurna.”, suatu penafsiran yang belum tentu berarti ‘diciptakan tanpa melalui proses kelahiran’.
Selanjutnya Ustadz Quraish Shihab menjelaskan kalimat ‘lagi sebaya umurnya’ dengan menyampaikan hadist diriwayatkan oleh at-Tirmidzi bahwa seorang wanita tua datang kepada Nabi Muhammad SAW memohon dido’akan agar masuk surga. Nabi menjawabnya dengan bersabda (dengan tujuan bergurau sambil mengajar):”Beritahu wanita itu, bahwa dia tidak akan memasukinya dalam keadaan tua. Sesungguhnya Allah berfirman (lalu beliau membacakan ayat-ayat diatas) . Hadist ini diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani, namun oleh Ibnu Hajar dinilai merupakan hadist lemah.
Kalau kita merujuk kepada penjelasan ini maka ‘diduga keras’ wanita yang dimaksud QS[56:35-37] adalah manusia biasa yang mendapat anugerah surga dan bukan bidadari seperti yang dimaksud dengan kata ‘huurin ‘iin’ dalam QS[44:54], QS[52:20], QS[56:22].
Dalam keempat kelompok ayat yang lain, Al-Qur’an menyampaikan adanya ‘sesuatu’ di surga yang mempunyai ciri-ciri: punya pandangan yang tidak liar, jelita matanya ibarat telur burung unta, berumur sebaya, sopan dan selalu menundukkan pandangan, belum pernah disentuh manusia, seperti permata yakut dan marjan, yang cantik (atau bagus), putih dan tersimpan dalam mahligai.
Kita tentunya boleh saja mengartikan ciri-ciri ini secara fisik dan harfiah dan itu mempunyai ‘peluang besar’ menuju kepada sosok wanita. Namun tidak salah juga kalau beberapa ahli tafsir mengartikan ciri-ciri tersebut secara majaazi, bahwa maksud ‘pandangan tidak liar’ adalah ‘sesuatu’ tersebut punya perhatian hanya terbatas kepada pasangannya, pandangan yang terbuka lebar penuh perhatian, murni, tulus dan setia kepada pasangan, intinya betul-betul merupakan ‘sesuatu’ yang cocok di hati. Keempat kelompok ayat tersebut tidak menjelaskan apa jenis kelamin ‘sesuatu’ itu. Dan ternyata ini juga sejalan dengan pengertian kata ‘huurin ‘iin’.
Penjelasan ini juga tidak membatasi penafsiran bahwa yang dimaksud adalah ‘sesuatu’ yang diciptakan di surga atau merupakan manusia yang menjadi penghuni surga, baik laki-laki maupun perempuan.Tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa kata ‘hur’ adalah bentuk jamak dari kata ‘hauraa’ yang pertama menunjuk kepada jenis kelamin feminin dan yang kedua jenis maskulin. Ini berarti bahwa kata ‘hur’ adalah kata yang netral kelamin – bisa laki-laki dan bisa perempuan. Kata ‘hur’ sendiri menurut ar-Raghib al-Ashfahaani adalah tampak sedikit keputihan pada mata disela kehitamannya (dalam arti yang putih sangat putih dan yang hitam sangat hitam). Bisa juga ia berarti ‘bulat’, ada juga yang mengartikan ‘sipit’. Sedangkan kata ‘iin’ adalah jamak dari kata ‘aina’ dan ‘ain’ yang berarti’ bermata besar dan indah’.
Penjelasan kata ‘huurin ‘iin’ berdasarkan arti katanya ternyata sejalan dengan bunyi ayat lain tentang ‘sesuatu’ yang akan menjadi pasangan manusia yang masuk surga nantinya.Pertanyaan muncul dengan adanya ayat [52:20] ..dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli. Kata ‘dikawinkan’ berasal dari kata ‘zawwajnaahum’ tidak dipahami dalam arti mengawinkan. Ini bukan saja karena di akherat ini tidak ada lagi ‘taklif’ dan kewajiban syariat berupa akad nikah dan lain-lainnya, tetapi juga karena ayat diatas menggunakan idiom ‘bi’ ketika menggunakan kata ‘zawwaja’.
Biasanya kata mengawinkan diungkapkan tanpa menyertakan idiom ‘bi’ yakni ‘zawwaja fulanah’ atau dalam konteks ayat ini – jika yang dimaksud dengannya mengawinkan tentu redaksinya ‘zawwajnaahum Huur ‘in’ dan bukan ‘zawwajnaahum bihuurin ‘iinin. Kalau begitu maka arti kata ‘zawwajnaahum’ bisa kita artikan lebih luas dan tidak hanya terbatas pada hubungan perkawinan antara laki-laki dan wanita. Kata ini mungkin boleh diartikan dengan ‘dipasangkan’ yang punya arti luas.Sekarang kita coba mencari penjelasan Al-Qur’an tentang adanya hubungan antar penghuni surga, misalnya disampaikan dalam ayat ini:
[2:25] "Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya."
Dalam tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin al-Mahalli secara jelas mengartikan ‘azwaajun muthahharatun’ sebagai isteri-isteri yang disucikan, sedangkan dalam Tafsir Al-Mishbah, Ustadz Quarish Shihab mengartikannya dengan ‘pasangan-pasangan yang disucikan’, sekalipun dalam beberapa penjelasannya beliau menyinggung bahwa yang dimaksud pasangan itu adalah suami atau isteri. Kalimat ‘azwaajun muthahharatun’ terkait dengan surga ini juga diungkapkan dalam QS[3:15], QS[4:57]. Kata ’azwaajun’ juga dipakai dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang merujuk kepada ‘istri’ antara lain pada ayat QS[2:232], QS[9:24], QS[24:6]. QS[64:14], QS[66:5], dst. Sedangkan kata yang sama dan diartikan ‘pasangan’ digunakan pada ayat: QS[78:8], QS[6:143], QS[35:11], QS[36:36], QS[38:58], kata ‘pasangan’ pada ayat terakhir tidak selalu diartikan sebagai suami atau istri, misalnya QS [6:143] ..(yaitu) delapan binatang yang berpasangan (tsamaaniyata azwaajin).
Berdasarkan beberapa penjelasan ayat Al-Qur’an diatas, marilah kita mencoba untuk ‘berandai-andai’ tentang surga.
Ternyata Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa di surga, manusia yang jadi penghuninya mempunyai pasangan dan hal tersebut tidak selalu diartikan sebagai pasangan suami istri, dan yang dikatakan sebagai ‘bidadari’ itu ternyata tidak hanya terbatas pada pengertian pasangan wanita saja. Persoalan ini tidaklah aneh dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena sebagai firman Allah, kemampuan kita untuk menafsirkannya sangat terbatas. Ketika Allah menyampaikan hanya satu kata firman-Nya, kelihatan tidak cukup jutaan buku yang dibuat manusia untuk menjelaskan maknanya, Allah menyatakan:
[18:109] "Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.
[31:27] "Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Maka ketika manusia berusaha menjelaskan kalimat-kalimat Allah, apalagi yang terkait dengan sesuatu yang (masih) ghaib, tidak akan habis-habisnya manusia memberikan penafsirannya, hebatnya seluruh penafsiran tersebut seolah-olah ‘tenggelam’ dalam kalimat-kalimat Allah tersebut.Di sisi lain, Al-Qur’an juga bisa berfungsi sebagai cermin bagi manusia, memantulkan apa yang ada dalam diri kita ketika berhadapan dengannya.
Pada mulanya Al-Qur’an diturunkan pada bangsa Arab dan para penafsir awal adalah kaum laki-laki dari bangsa tersebut, maka mereka yang memang terkenal punya karakter ‘manusia gurun yang perkasa’ terutama terkait dengan wanita, ayat tersebut ‘memantulkan’ karakter tersebut sehingga muncul penafsiran yang ‘berpihak’ kepada kaum lelaki yang menggambarkan wanita cantik, putih bersih, setia, tunduk, dan inilah penafsiran yang muncul bertahun-tahun sehingga membentuk ‘stereotip’ tentang surga yang dipenuhi bidadari. Tentu saja ini tidaklah salah karena seperti disebutkan sebelumnya, penafsiran ini seolah-olah ‘tenggelam’ di dalamnya dan artinya tetap bisa diterima.
Namun bagaimana kalau yang berhadapan dengan ayat tersebut adalah seorang wanita? Kita juga ‘mempersilahkan’ wanita tersebut ‘berandai-andai’ bahwa di surga nanti dia akan menemui pasangan, bisa seorang suami, bisa juga suaminya yang di dunia, bisa juga wanita lain sebagai sahabat ‘sejiwa’, teman terdekat yang tidak akan mengkhianati dan yang selalu mendampingi, tidak seperti pasangannya di dunia seperti kekasih, suami, sahabat yang (hampir dapat) dipastikan pernah berkhianat.
Misalkan seorang yang terobsesi untuk menjadi vokalis group heavy metal, namun sayang cita-citanya kandas karena umurnya sudah menjelang ’50-an dan group musik yang dibentuknya ketika remaja hancur berantakan akibat ketidak-kompakan. Apakah kira-kira yang akan dia khayalkan kalau nantinya dia bisa masuk surga? Sangat boleh jadi di surga nanti dia ingin menjadi vokalis dan rocker terkenal, seperti Ian Gillan ataupun Ronny james Dio. Dapatkah kita menebak siapa kira-kira yang akan menjadi ‘bidadari’nya? Maka yang akan menjadi ‘huurin ‘iin’ adalah teman satu group, bisa gitaris model Ritchie Blackmore atau Steve Morse atau drummer jagoan dari grup Deep Purple seperti Ian paice, dll. Temannya tersebut akan menjadi pasangan yang setia, group musiknya tidak bakalan bubar, anggota yang lain hanya punya perhatian dan pandangan terfokus padanya, itulah yang menjadi ‘bidadari’ miliknya di surga nanti, demikian pula dia terhadap sahabat-sahabatnya.
Atau katakanlah anda terobsesi menjadi pemain bola seperti David Beckham, maka yang menjadi ‘huurin ‘iin’ anda adalah pemain lain seperti Garry Neville atau Wayne Rooney serta punya ‘huurin ‘iin’ pelatih sehebat Sir Alex Ferguson. ‘Huurin ‘iin’ anda tersebut merupakan anggota se team anda yang selalu tahu dan mengerti apa maunya anda, mampu memberikan ‘umpan-umpan matang’ agar anda bisa beraksi.
Namun rasanya boleh-boleh saja jika anda adalah seorang yang punya 'naluri edan' model Kaisar Caligula, kaisar Romawi yang gemar mengoleksi perempuan sehingga singgasananya selalu dikelilingi puluhan wanita cantik dan seksi, maka ‘huurin ‘iin’ anda di surga ‘tidak akan jauh-jauh’ dari hal tersebut.
Kalaupun kemudian kita bertanya: ”Lalu, apa maksudnya Allah sengaja memberikan ‘sesuatu’ kelak di surga yang akan menjadi pasangan manusia penghuninya? Apa perlunya?”
Kita mengetahui bahwa manusia adalah makhluk sosial karena tidak bakalan bisa hidup sendiri. Kelihatannya di surga nanti nalurinya sebagai makhluk sosial tidak akan berubah. Maka ketika kelak manusia bersosialisasi di surga dia akan berhadapan dan berinteraksi dengan makhluk-makhluk lain. Dengan menyampaikan adanya ‘huurin ‘iin’ ini, maka Allah – yang sangat mengerti tentang manusia – tidak hanya menyiapkan, makanan dan minuman dan tempat tinggal yang indah, tapi juga menyiapkan ‘masyarakat’ tempat para penghuninya bersosialisasi dan berinteraksi.Ternyata ‘bidadari’ di surga tidak harus perempuan, dan hubungan kita dengannya tidak harus berupa hubungan seksual. Apa yang kita tafsirkan dari penjelasan Al-Qur’an tentang itu merupakan ‘pantulan’ dari obsesi kita sendiri, Allah berfirman:
[43:71] "Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya”.
Semasa belajar mengaji di madrasah dulu, pak ustadz pernah mengatakan lebih kurang begini:
"Kelak, jika kalian beruntung masuk sorga, maka apa pun keinginan yang terlintas di benak kalian, niscaya akan segera dipenuhi oleh Allah, bahkan sebelum kalian sendiri sempat mengejapkan mata!"
Artinya, apa yang disediakan oleh Allah di sorga meliputi segala sesuatu yang diinginkan oleh setiap penghuni sorga sendiri. Jadi, apa pun wujud keinginan itu, menjadi sangat tergantung pada angan-angan seseorang. Boleh jadi itu berurusan dengan bidadari dan boleh jadi sama sekali tidak. Tapi semua itu hanya dapat dibuktikannya sendiri kelak jika dia benar-benar beruntung diperkenankan oleh Allah untuk menjadi penghuni sorga!
Wallahualambissawab.
[Sumber: Gus Mendem Menjawab Fitnah]
[Sumber: Gus Mendem Menjawab Fitnah]
Posting Komentar