Fatimah Az Zahra, Wanita Sorga Tiada Duanya

Fatimah az Zahra adalah putri Nabi Muhammad saw dan Khadijah al Kubra. Beliau adalah anak perempuan keempat Rasulullah saw. Beliau memiliki banyak nama panggilan, di antaranya ialah: Az Zahra (yang bersinar cemerlang), Shiddiqah (yang membenarkan), Thahirah (yang suci), Mubarakah (yang diberkati), Radhiyah (yang ridha), Mardhiyah (yang diridhai), Muhadatsah (yang berbicara dengan malaikat di masa kecil), dan Batul.

Sebagian besar sejarawan Syiah dan Ahlussunah meyakini bahwa Fatimah az Zahra dilahirkan pada 20 Jumadil Tsani, tahun kelima diutusnya Nabi saw di Mekkah al Mukarramah. Sebagian sejarawan bahwa beliau lahir pada tahun ketiga atau kedua diutusnya Nabi saw. Seorang sejarawan dan ahli hadis Sunni berpendapat bahwa Fatimah lahir pada tahun pertama diutusnya Nabi saw. Jelas sekali bahwa menyingkap fakta seputar hari lahir dan hari wafat tokoh-tokoh besar dalam sejarah—meskipun dari sudut pandang sejarah dan penelitian berharga dan patut dijadikan bahan kajian—namun dari sisi analisa kepribadian tidaklah begitu penting. Yang penting dan utama adalah peran mereka dalam menentukan nasib manusia dan sejarah. Patut direnungkan bahwa Fatimah az Zahra terdidik di madrasah ayahnya, Rasul saw yang notabene adalah rumah kenabian. Sebuah rumah yang disitu wahyu dan ayat-ayat Al Qur’an diturunkan.

Fatimah termasuk kelompok pertama dari kaum Muslimin yang beriman kepada Allah Swt dan ia begitu tegar dan kukuh dalam keimanannya. Saat itu rumah yang dihuni Fatimah adalah satu-satunya rumah di kawasan Jazirah Arab dan dunia yang meneriakkan suara tauhid: “Allahu Akbar”. Az Zahra adalah satu-satunya perempuan belia di Mekkah yang mencium dan merasakan aroma tauhid di sekitarnya. Ia berada di rumahnya sendirian. Ia melalui masa kanak-kanaknya sendirian. Dua saudara perempuannya, yaitu Ruqayyah dan Kultsum berusia lebih tua beberapa tahun darinya. Barangkali rahasia di balik kesendirian ini adalah bahwa Fatimah sejak kecil harus memfokuskan perhatiannya pada latihan fisik dan pendidikan spiritual. Setelah menikah dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Fatimah tampil sebagai wanita teladan sepanjang masa. Putri Nabi saw ini bukan hanya teladan bagi kehidupan suami-istri dan menjadi potret keluarga Muslimah ideal, melainkan ia pun menjadi teladan dalam masalah ketaatan dan ibadah kepada Allah Swt.

Setelah selesai mengerjakan tugas rumah, Fatimah sibuk beribadah. Ia menunaikan shalat, berdoa, dan bermunajat di hadapan Sang Maha Esa serta mendoakan orang lain. Imam as Shadiq as meriwayatkan hadis yang sanad-nya (mata raktai perawi) bersambung ke Imam Hasan bin Ali as yang berkata: Aku melihat ibuku Fatimah as yang sedang menunaikan shalat di mihrabnya pada malam Jum`at dimana ia rukuk dan sujud sampai fajar Shubuh menyingsing. Dan aku mendengarnya berdoa untuk kaum mukminin dan kaum mukminat dan ia menyebut nama-nama mereka serta memperbanyak doa untuk mereka, bahkan ia tidak berdoa untuk dirinya sendiri sedikit pun. Lalu aku bertanya kepadanya: Wahai ibu, mengapa engkau tidak berdoa untuk dirimu sendiri sebagaimana engkau berdoa untuk orang lain? Ia menjawab: Wahai anakku, sebaiknya (mendoakan) tetangga dulu lalu (penghuni) rumah (diri kita dan orang-orang yang dekat dengan kita).[1]

TASBIH AZ ZAHRA DAN KEUTAMAANNYA
Fatimah berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, aku tidak tahan lagi mengurusi rumah. Carikanlah pembantu untukku yang dapat meringankan pekerjaan rumahku." Rasul berkata kepadanya: "Wahai Fatimah, apakah kamu tidak menginginkan sesuatu yang lebih baik dari pembantu?" Ali berkata: "Katakanlah, iya." Fatimah berkata: "Wahai ayahku, apa yang lebih baik dari pembantu?" Rasul saw menjawab: "Engkau bertasbih kepada Allah SWT pada setiap hari sebanyak 33 kali dan engkau bertahmid sebanyak 33 kali dan bertakbir sebanyak 34 kali. Semuanya berjumlah 100 dan memiliki kebaikan dalam timbangan. Wahai Fatimah, bila engkau mengamalkannya pada setiap pagi hari maka Allah akan memudahkan urusan dunia dan akhiratmu."[2]Berkenaan dengan firman Allah, "Dan kaum pria dan kaum wanita yang banyak berzikir kepada Allah," Imam ash Shadiq berkata: "Barangsiapa terbiasa membaca tasbih Fatimah as maka ia termasuk kaum pria dan kaum wanita yang banyak berzikir."[3]

Diriwayatkan dari Imam Baqir as yang berkata: "Rasulullah saw berkata kepada Fatimah, Wahai Fatimah, bila kamu hendak tidur di waktu malam maka bertasbihlah kepada Allah sebanyak 33 kali dan bertahmidlah sebanyak 33 kali dan bertakbirlah sebanyak 34 kali. Semuanya berjumlah seratus. Dan pahalanya lebih berat dari gunung emas Uhud dalam timbangan akhirat."[4]

Diriwayatkan dari Abi Abdillah ash Shadiq yang berkata: "Tasbih Fatimah as setiap hari usai shalat lebih aku sukai daripada shalat seribu rakaat dalam setiap hari."[5] Imam Shadiq as berkata: "Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah as sebelum ia membentangkan kakinya dalam shalat fardhu maka Allah akan mengampuninya. Dan hendaklah ia memulai dengan takbir."[6]Diriwayatkan oleh Abi Ja`far al Baqir yang berkata: Tiada pengagungan bagi Allah yang lebih utama daripada tasbih Fatimah.[7] Imam Baqir as berkata: "Barangsiapa bertasbih dengan tasbih az Zahra kemudian ia beristigfar maka ia akan diampuni. Ia (tasbih itu) berjumlah seratus namun bernilai seribu dalam timbangan dan ia mampu mengusir setan dan membuat Tuhan Yang Maha Pengasih ridha."[8]Imam ash Shadiq as berkata: "Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah as usai shalat fardhu sebelum ia membentangkan kedua kakinya maka Allah akan menyediakan surga baginya."[9]Imam ash Shadiq as berkata: "Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah as yang berjumlah seratus usai shalat fardhu sebelum ia membentangkan kedua kakinya lalu diikutinya dengan membaca "lailaha illallah" sebanyak satu kali maka ia akan diampuni."[10] "Tasbih Az Zahra" ini terdapat juga dalam kitab-kitab muktabar Ahlussunah dan cukup populer di kalangan kaum Muslimin.

Ilmu Fatimah az Zahra
Segala rahasia ilmu yang didapatkannya dari ayahnya dicatat oleh Ali bin Abi Thalib lalu Fatimah mengumpulkannya sehingga jadilah kitab yang bernama Mushaf Fatimah.

Mengajari Orang Lain

Abu Muhammad al Askari berkata: "Seorang wanita datang ke Fatimah az Zahra dan berkata: "Sesungguhnya saya mempunyai seorang ibu yang lemah dan ia memakai sesuatu saat mengerjakan shalatnya, dan ia mengutusku untuk menemuimu dan bertanya padamu. Lalu Fatimah menjawab pertanyaannya. Wanita tersebut berkata: "Aku tidak ingin merepotkanmu wahai putri Rasulullah saw." Fatimah menjawab: "Datanglah kemari dan tanyalah apa yang tidak jelas bagimu. Apakah engkau mengira seseorang yang sehari disewa untuk mendaki tanah dengan membawa muatan yang berat di mana upahnya seratus ribu Dinar, lalu ia keberatan melakukan itu?" Wanita tersebut menjawab: "Tidak! Ketahuilah bahwa aku—dalam setiap masalah (pertanyaan) yang aku selesaikan—diupah lebih besar dari permata yang ada di antara bumi dan arasy. Sehingga karena itu, aku tidak merasa berat sama sekali."[11]Fatimah berusaha memperkenalkan tugas dan kewajiban para wanita dengan cara mengajari mereka hukum dan pengetahuan Islam. Keberhasilan pendidikan Fatimah ini bisa kita lihat pada sosok anak didiknya yang sekaligus pembantunya yang bernama, Fidhah. Fatimah berhasil menyulap Fidhah menjadi wanita istimewa dimana selama dua puluh tahun ia hanya berbicara dengan Al Quran. Setiap kali Fidhah menginginkan sesuatu atau menjelaskan sesuatu maka ia mengutip ayat Al Qur'an yang sesuai dengan keinginan dan maksudnya, sehingga dimengerti oleh lawan bicaranya. Fatimah bukan hanya tidak pernah mengenal lelah dalam mempelajari ilmu, bahkan dalam menjelaskan masalah-masalah agama ke orang lain pun ia selalu bersemangat dan sabar melayani pertanyaan orang-orang yang merujuk kepadanya.

Suatu hari seorang wanita dating padanya sembari berkata: "Aku memiliki ibu yang sudah lanjut usia. Ibuku salah mengerjakan shalatnya lalu ia mengutus aku untuk bertanya kepadamu. Az Zahra pun menjawab pertanyaannya. Wanita itu pun datang kembali dan menyampaikan pertanyaan kedua. Fatimah pun menjawabnya. Hal ini terus berulang sampai sepuluh kali. Setiap kali wanita itu datang, ia merasa malu karena lagi-lagi datang ke Fatimah dan menganggunya. Lalu wanita itu berkata kepada Fatimah: "Aku tidak akan pernah merepotkanmu lagi." Fatimah menjawab: "Tidak menjadi masalah bagiku, datanglah kemari lagi dan lontarkanlah pertanyaanmu. Aku tidak akan pernah marah atau capek melayani pertanyaanmu. Sebab, aku mendengar ayahku bersabda: "Pada hari kiamat para ulama pengikut kami akan dikumpulkan dan akan diberikan pakaian (sebagai hadiah) yang berharga kepada mereka. Kualitas pakaian tersebut disesuaikan dengan kadar usaha mereka di bidang pengarahan dan pemberian bimbingan kepada hamba-hamba Allah."

Ibadah Fatimah az Zahra
Hasan Basri (wafat tahun 110 H), salah seorang abid (ahli ibadah) dan seorang sufi terkenal mengatakan bahwa Fatimah az Zahra begitu luar biasa dalam beribadah sehingga (seperti ayahnya Rasulullah saw) kedua kakinya bengkak. Hasan Basri juga menegaskan bahwa tidak ada seorang pun di tengah umat yang mampu menandingi zuhud, ibadah dan ketakwaan Fatimah.

Kalung Yang Penuh Berkah
Pada suatu hari Rasulullah saw melakukan perjalanan. Saat itu Ali mendapatkan sedikit ganimah lalu ia menyerahkannya kepada Fatimah. Putri Nabi saw ini memakai dua gelang dari perak dan ia menggantung kain di atas pintunya. Ketika Rasulullah saw datang maka ia memasuki masjid lalu ia menuju rumah Fatimah sebagaimana yang biasa dilakukannya. Fatimah berdiri gembira menyambut ayahnya. Rasul saw melihat dua gelang yang terbuat dari perak yang ada di tangannya, juga kain yang tergantung di atas pintunya. Lalu beliau duduk sambil memandanginya. Fatimah pun menangis dan sedih. Kemudian ia memanggil kedua putranya dan mencabut kain penutup yang dipasangnya dan kedua gelangnya sambil berkata kepada mereka: "Sampaikan salam kepada ayahku dan katakan kepadanya, kami tidak membuat sesuatu yang baru selain ini. Serahkan benda ini kepadanya sehingga ia dapat menginfakkannya di jalan Allah."

Kemudian Rasul saw berkata: Semoga Allah SWT merahmati Fatimah dan memberinya pakaian dari pakaian surga dan memberinya kalung dari surga.[12]

Seorang Arab Baduwi datang kepada Nabi saw dan berkata: "Wahai Nabi Allah, aku sedang lapar maka berilah aku makanan dan aku telanjang maka berilah aku pakaian dan aku adalah orang fakir maka bantulah aku." Lalu Nabi saw berkata kepadanya: "Aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku berikan padamu, namun orang yang menjadi pembimbing atas kebaikan sama dengan pelaku kebaikan tersebut. Pergilah kami ke rumah orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya." Saat itu Ali, Fatimah dan Rasulullah saw belum makan selama tiga hari. Kemudian orang Arab Baduwi tersebut datang kepada Fatimah dan meminta bantuan padanya. Fatimah memberinya kalung yang tergantung di lehernya dimana kalung tersebut merupakan hadiah dari putri pamannya Fatimah binti Hamzah bin Abdul Muthhalib. Fatimah berkata kepada orang tersebut: "Ambillah ini dan juallah. Semoga Allah menggantimu dengan apa yang terbaik darinya."

Orang fakir itu datang kepada Nabi saw sambil membawa apa yang didapatinya dari Fatimah lalu ia menangis. Kemudian Ammar bin Yasir membeli kalung itu seharga dua puluh Dinar dan dua ratus Dirham dan ia menggenyangkan orang fakir itu dengan roti dan daging. Ammar melipat kalung itu di bawah kain dan berkata kepada budaknya, Saham: "Ambillah kalung ini dan serahkanlah kepada Nabi saw dan engkau pun menjadi miliknya." Budak itu mengambil kalung tersebut dan menyerahkannya kepada Nabi saw serta mebyampaikan perkataan Ammar tersebut pada beliau. Maka Rasulullah berkata: "Pergilah ke rumah Fatimah dan serahkanlah kepadanya serta kau pun aku serahkan padanya."

Lalu budak itu datang ke Fatimah dan menyampaikan perkataan Nabi saw padanya. Fatimah mengambil kalung tersebut dan membebaskan budak itu. Kemudian budak itu tertawa. Fatimah bertanya kepadanya: "Apa yang membuatmu tertawa?" Ia menjawab: "Aku tertawa melihat betapa besarnya keberkahan kalung ini: Ia menggenyangkan orang yang lapar, menutupi orang yang telanjang, memampukan orang yang miskin dan memerdekakan budak dan kalung itni kembali lagi ke empunya."[13]

Peran Fatimah dalam Peperangan di Masa Awal Islam
Selama 10 tahun pemerintahan Nabi saw di Madinah, terjadi 27 atau 28 peperangan (ghazwah) dan 35 sampai 90 Sariyah. Ghazwah ialah peperangan yang langsung dipimpin oleh Nabi saw dan beliau melihat dari dekat proses terjadinya peperangan dan segala taktik dan strategi perang berada dalam control beliau langsung. Sedangkan Sariyah adalah peperangan yang tidak langsung dipimpin oleh Nabi saw, namun beliau menunjuk sahabatnya untuk memimpin peperangan. Terkadang Sariyah ini menyita waktu cukup lama (sekitar dua atau tiga bulan) karena jauhnya gelanggang peperangan dari Madinah. Dapat dipastikan bahwa Ali bin Abi Thalib selama menikah dengan Fatimah banyak menghabiskan waktunya di medan peperangan atau diutus sebagai juru dakwah.

Selama ketidakhadiran suaminya, Fatimah dengan baik mampu memerankan tugas sebagai ibu yang ideal bagi anak-anaknya dan ia berhasil mendidik mereka sebaik mungkin, sehingga Ali begitu tenang meninggalkan keluarganya dan tidak pernah memikirkan urusan pendidikan anaknya sehingga konsentrasinya benar-benar terfokus hanya pada jihad. Selama masa ini, Fatimah juga membantu keluarga syuhada dan berbelasungkawa kepada mereka, dan terkadang ia memotifasi para wanita yang menjadi sukarelawan yang mengobati dan menangani korban perang dan tak jarang Fatimah terjun langsung menolong para korban luka-luka akibat perang.

Dalam perang Uhud, misalnya, Rasulullah saw mengalami luka parah. Fatimah beserta Ali, suaminya cukup bekerja keras untuk menghentikan pendarahan yang dialami ayahnya dimana sejarah menceritakan bahwa Fatimah membakar semacam jerami lalu menebarkan abunya ke luka ayahnya sehingga darahnya terhenti.

Fatimah dan Kepergian Nabi saw
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Aisyah yang berkata: "Ketika Rasulullah saw sakit, maka beliau memanggil putrinya Fatimah. Lalu beliau menghiburnya tapi Fatimah malah menangis kemudian beliau menghiburnya kembali lalu ia tertawa. Lalu aku bertanya kepada Fatimah perihal hal itu. Fatimah menjawab: "Aku menangis karena ia memberitahuku bahwa ia akan meninggal dunia sehingga aku menangis, kemudian dia memberitahuku bahwa akulah yang pertama kali menyusulnya di antara keluargaku sehingga aku tertawa."

Pengarang kitab Kasyful Ghummah pada juz dua dalam kitabnya mengatakan: "Karakter manusia biasanya membenci kematian dan berusaha lari darinya. Yang demikian ini karena manusia cinta dan cenderung kepada dunia—kami tidak dapat menyebutkan semua riwayat ini karena begitu panjang—sedangkan Fatimah as adalah wanita muda yang masih mempunyai anak kecil dan suami yang mulia. Ironisnya, ketika ayahnya memberitahunya bahwa ia yang tercepat di antara keluarganya yang akan menyusul Nabi maka ia merasa sedih terhadap kematian ayahnya dan justru tertawa dan bahagia karena ia pun akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan kedua anaknya dan suaminya. Fatimah justru bergembira ketika akan menjemput mati."

Ini adalah masalah yang besar di mana manusia tidak akan mampu mengenali sifatnya dan hati tidak terbimbing untuk mengetahuinya. Hal yang demikian adalah suatu masalah yang Allah SWT mengajarkannnya kepada keluarga yang mulia ini dan suatu rahasia di mana Allah memberikan kepada mereka keutamaan dan mengkhususkan mereka dengan mukjizat-Nya dan tanda-tanda kebesaran-Nya.[14]

Diriwayatkan dari Imam Baqir as yang berkata: "Sepeninggal Rasulullah saw, Fatimah tidak pernah terlihat dalam keadaan tertawa sehingga ia meninggal dunia.[15]

Diriwayatkan dari Imam as Shadiq yang berkata: "Ada lima orang yang suka menangis: Adam, Ya`qub, Yusuf, Fatimah binti Muhammad dan Ali bin Husain as. Adapun Adam, ia menangis karena harus meninggalkan surga dimana ia diletakkan di suatu lembah, sedangkan Ya`qub, ia menagisi Yusuf hingga matanya buta, sedangkan Yusuf menangisi perpisahannya dengan Ya`qub hingga terganggu karenanya para penghuni penjara, adapun Fatimah, ia menangis karena kepergian Nabi saw sehingga karenanya penduduk Madinah terganggu. Bahkan mereka berkata kepadanya, banyaknya tangisanmu membuat kami terganggu. Lalu Fatimah pergi ke makam syuhada dan menangis di sana sampai puas lalu ia pulang. Sedangkan Ali bin Husein menangis karena kesyahidan ayahnya selama dua puluh tahun atau empat puluh tahun."[16]

Diriwayatkan bahwa Ali berkata: "Ketika aku mencuci baju Nabi saw maka Fatimah berkata, perlihatkanlah kepadaku baju itu. Lalu Fatimah menciumnya dan pingsan. Takkala aku mengetahui hal itu maka aku menyembunyikan pakaian itu (hingga kejadian ini tidak terulang kembali).[17]

Takkala Nabi saw meninggal, Bilal tidak mau mengumandangkan azan di mana ia berkata: "Aku tidak mau mengumandangkan azan untuk seseorang setelah meninggalnya Nabi saw. Kemudian pada suatu hari Fatimah berkata: "Aku ingin mendengar suara muazin ayahku yang mengumandangkan azan. Lalu hal tersebut sampai ke telinga Bilal sehingga ia mengumandangkan azan dan memulainya dengan takbir "Allahu Akbar." Fatimah mulai mengingat-ingat kebersamaannya dengan ayahnya sehingga ia tidak mampu membendung air matanya. Dan ketika Bilal sampai ke kalimat "Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah", Fatimah tidak kuasa menahan dirinya dan ia pun terjatuh pingsan. Kemudian mereka mengira bahwa ia telah mati dan Bilal pun tidak melanjutkan azannya. Takkala Fatimah sadar, ia meminta Bilal untuk melanjutkan azannya namun Bilal dengan berat hati menolak sambil berkata: "Wahai penghulu para wanita, aku khawatir terjadi sesuatu pada dirimu." Dan Fatimah pun mengerti kecemasan Bilal dan memaafkannya.[18]

Diriwayatkan bahwa Fiddah, pembantu wanita Fatimah berkata kepada Waraqah bin Abdullah al Azdi: "Ketahuilah bahwa ketika Rasulullah saw meninggal dunia, maka orang tua dan muda sangat terguncang dengan kematiannya dimana mereka semua larut dalam tangisan. Musibah ini sangat berat dipikul oleh kaum kerabat beliau dan para sahabatnya. Dan tak seorang pun yang lebih bersedih dan lebih banyak menangis daripada tuanku Fatimah, di mana selama tujuh hari Fatimah mengadakan mejelis ratapan.

Selama hari-hari itu Fatimah tidak pernah berhenti menangis dan merintih, bahkan setiap hari tangisannya lebih banyak dari hari sebelumnya. Dan ketika memasuki hari kedelapan, Fatimah meluapkan kesedihannya yang terpendam dimana ia meratapi ayahnya: "Oh, ayahku. Oh, pilihan Allah. Oh, Muhammad. Oh, Abu Qasim. Duhai pelindung para janda dan yatim, siapa lagi yang mendirikan shalat, siapa lagi yang melindungi putrimu yang kehilangan orang tuanya?"

Bahkan dikatakan bahwa Fatimah kehabisan suara saat meratapi ayahnya dan sempat mengalami pingsan. Lebih jauh lagi, ia berkata: "Duhai ayah, sepeninggalmu aku bak orang yang hidup sendirian. Kehidupanku dipenuhi dengan duri-duri bencana dan petaka. Sepeninggalmu banyak peristiwa besar terjadi yang membuat kami menderita dan semua jalan tertutup buat kami hingga kami tak dapat meloloskan diri. Sepeniggalmu aku kecewa melihat dunia ini dan aku senantiasa menangis. Kemudian Fatimah membacakan syair:

Tiap hari aku memperbaharui kesedihanku atasmu
Demi Allah, luka hatiku semakin besar dan berat
Tiap hari deritaku semakin menjadi-jadi

Beratnya perpisahnku denganmu tak dapat dipungkiri

Adalah benar di dalam hati ada kesabaran

Namun sunguh berat mempertahankannya saat berkenaan denganmu


Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bahkan membangun rumah untuk Fatimah di Baqi yang terkenal dengan sebutan "Baitul Ahzan" (rumah kesedihan). Saat pagi hari, Fatimah membawa Hasan dan Husein ke Baqi dan menangis di sana.[19]

Akhir Hayat Fatimah
Diriwayatkan bahwa Abi Abdillah ash Shadiq as berkata: "Fatimah meninggal pada bulan Jumadil Akhir, hari Selasa, tahun sebelas Hijrah."

Diriwayatkan dari Ummu Salma, istri Abi Rafi` yang berkata: "Fatimah sakit. Di hari menjelang kematiannya ia berkata: "Datangkanlah untukku air!" Lalu aku menuangkan air untuknya hingga ia mandi dengan air tersebut dengan cara yang terbaik. Kemudian ia berkata: "Bawalah untukku pakaian yang baru hingga aku dapat memakainya." Lalu Fatimah berbaring dan menghadap kiblat dan ia meletakkan tangannya di bawah pipinya dan berkata: "Sebentar lagi aku akan meninggal ....." [20]

Diriwayatkan dari Jabir al Anshari yang berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada Ali bin Abi Thalib as—tiga hari sebelum beliau meninggal: "Salam kepadamu wahai ayah dua sekuntum bunga. Aku berwasiat kepadamu tentang dua sekuntum bungaku di dunia. Demi Allah wahai khalifahku, sebentar lagi dua sandaranmu akan roboh. Ketika Rasulullah saw meninggal, Ali as berkata: "Inilah salah satu sandaran yang dikatakan Rasul saw padaku." Dan takkala Fatimah meninggal, Ali berkata: "Inilah sandaranku yang kedua.[21]

Fatimah as lahir lima tahun setelah tahun pengutusan Nabi saw dan ia meninggal dunia saat berusia delapan belas tahun lima puluh tujuh hari, dan sepeninggal ayahnya ia hidup selama tujuh puluh lima hari.[22]

Imam ar Ridha pernah ditanya tentang kuburan Fatimah as lalu beliau menjawab: "Ia dimakamkan di rumahnya, namun ketika Bani Umayyah banyak datang ke Masjid, ia berada di Masjid."[23] Ada yang mengatakan bahwa ia disemayamkan di Baqi.[24]

Fatimah mengalami sakit keras dan ia bertahan selama empat puluh hari atas sakitnya hingga ia meninggal. Saat menjelang ajalnya, ia memanggil Ummu Aiman dan Asma` binti Umais dan sambil memandang suaminya Ali, ia berkata: "Wahai putra pamanku, engkau tidak pernah mendapatiku dalam keadaan berbohong dan berkhianat, dan selama aku menjadi istrimu, aku tidak pernah menentangmu." Ali menjawab: "Aku berlindung kepada Allah, engkau lebih tahu tentang Allah dan lebih baik dan lebih takwa di sisi-Nya serta lebih takut kepada-Nya. Sungguh musibahmu di sisiku sama dengan musibah Rasulullah saw. Sungguh besar kematianmu. Dan kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali."

Sumber: Taqrib Indonesia ~ Lembaga Pendekatan Mazhab-Mazhab Islam

[1] Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 468.
[2] Bihar al Anwar, juz 43, hal. 134.
[3] Majma` al Bayan, juz 8, hal. 358.
[4] A`lam an Nisa' al Mu'minat, hal. 552.
[5] Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 471.
[6] Tsawabul A`mal, hal 164.
[7] Al Bihar, juz 43, hal. 64.
[8] Tsawabul A`mal, hal 163.
[9] Falahu as Sa'il, karya Ibn Thawus, hal. 152.
[10] Al Mahasin, juz 1, hal 30.
[11] Al Bihar, juz 2, hal. 3.
[12] Al Bihar, juz 43, hal. 83-84.
[13] Al Bihar, juz 43, hal. 56-58.
[14] Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 454-455.
[15] Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 498.
[16] Ibid.
[17] Al Bihar, juz 43, hal. 107.
[18] Ibid.
[19] Al Bihar, juz 43, hal. 175-176.
[20] Al Bihar, juz, 43, hal. 172, dan al Ishabah, juz 4, hal. 379.
[21] Al Bihar, juz, 43, hal. 173.
[22] Al Kafi, ju 1, hal. 458.
[23] Al Kafi, juz 1, hal. 461.
[24] Al Bihar, juz, 43, hal. 187.

Posting Komentar